Oleh: Sukanda Husin
Setelah 25 tahun diperkenalkan, hukum lingkungan masih belum berjaya menciptakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pencemaran dan perusakan lingkungan secara signifikan mewarnai pembangunan ekonomi di negeri ini. Penyebabnya adalah pengaturan yang belum sempurna, pejabat dan penegak hukum yang tidak becus, kurangnya dana penegakan hukum, sistem peradilan, dan sebagainya.
Dalam mengatasi pengaturan yang belum sempurna, pemerintah RI mengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyempurnaan dilakukan dengan cara memperbaiki substansi aturan lama dan memperkenalkan aturan baru, di antaranya pengenalan sanksi administrasi, audit lingkungan, delik formal, hukuman tata tertib, pertanggungjawaban korporasi (corporate crime), peran serta masyarakat, hak gugat lembaga swadaya masyarakat, dan gugatan perwakilan kelas (class action).
Salah satu tujuan penyempurnaan adalah merangsang penegak hukum, masyarakat, dan LSM melakukan fungsi kontrol. Secara khusus masyarakat korban serta LSM diberi kemudahan mengakses keadilan dalam hukum lingkungan yang lebih dikenal dengan citizen's lawsuit.
Gugatan masyarakat merupakan bentuk penegakan hukum yang mengurangi biaya pemerintah dalam penegakan hukum. Masyarakat dan LSM menyambut kesempatan ini dengan sukacita.
Kemudian masyarakat dan LSM secara bersusah payah menghimpun dana guna bisa mempertahankan hak mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1997.
Hasilnya mengecewakan. Terutama tentang prosedur sidang, banding, kasasi, dan peninjauan kembali yang menyebabkan biaya keadilan mahal serta memakan waktu yang lama (time and money consuming).
Akhirnya masyarakat korban pencemaran antipati menggunakan lembaga peradilan dalam mencari keadilan. Buntutnya, penegakan hukum oleh masyarakat (citizen's suit) tidak terlaksana. Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sayangnya, UU ini tidak mengelaborasikan apa yang dimaksud dengan "sederhana, cepat, dan biaya ringan". Akibatnya, pengadilan melaksanakan acara persidangan seenak hatinya, ada yang dipercepat, ada pula yang diperlambat. Bukan rahasia lagi, ini ditentukan oleh prinsip "ekonomi ala birokrasi Indonesia" (baca: "mau cepat, bayar").
Suatu hari pada Januari 2006, masyarakat Batu Licin, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, yang terkenal sebagai petambak ikan kerapu, terkesima karena ikan di dalam tambak mereka mati massal.
Tak mengerti penyebabnya, mereka melapor ke Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, ternyata ikan mati akibat sejenis polutan yang diduga berasal dari aktivitas PT Aneka Tambang (Antam). Setelah berkonsultasi dengan lawyer, mereka memutuskan menggugat ganti rugi secara gugatan perwakilan kelas (class action) demi menghemat biaya. Salah satu yang dipertanyakan masyarakat kepada lawyer, berapa lama mereka harus menunggu untuk mendapatkan keputusan hakim.
Pengacaranya menjawab, "Kalau tidak ada penundaan dan kejadian istimewa, proses sidang bisa berlangsung sampai enam belas kali sidang atau sekitar 16 minggu atau empat bulan. Tapi, kalau saksi kita dan pihak tergugat banyak, persidangan mencapai 20 atau 24 minggu atau enam bulan." Ternyata sidang berlangsung sampai setahun, untung saja gugatan petambak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Pinang. Setelah menang, mereka bertanya lagi kepada pengacara, "Kapan kita menerima ganti rugi dari PT Antam?" Pengacara menjelaskan, "Karena PT Antam menyatakan banding, ganti rugi baru bisa diperoleh kalau kita menang di pengadilan tinggi."
Dialog berlanjut terus sampai petambak mengetahui bahwa proses memperoleh ganti rugi masih panjang. Sebenarnya, masyarakat Batu Licin sudah tidak punya uang lagi untuk membayar biaya persidangan di pengadilan tinggi. Tapi, karena mereka sudah menghabiskan banyak uang pada waktu sidang di pengadilan negeri, mereka akhirnya berusaha mencarikannya. Petambak ikan yang tidak mengenyam pendidikan hukum akhirnya juga mulai mengerti beberapa jargon hukum. Mereka bertanya lagi, "Kok, memori banding PT Antam belum masuk juga, ya? Padahal pernyataan banding sudah lima bulan lalu." "Apakah kita tidak bisa mendesak Pengadilan Negeri Tanjung Pinang supaya PT Antam menyerahkan memori bandingnya segera?" Kemudian pengacara menulis surat ke Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, tapi pengadilan tak membalas. Panitera secara informal mengatakan sudah sering mengingatkan PT Antam.
Dialog-dialog di atas menggambarkan betapa runyamnya proses mencari keadilan. Lama dan mahal. Hukum acara perdata (HIR dan Rbg) juga tidak mengatur secara terperinci soal penundaan sidang, misalnya berapa kali majelis hakim boleh menunda persidangan untuk satu perkara dan apa alasan yang dapat dibenarkan, juga apakah ketua majelis boleh menunda sidang bila salah satu pihak beperkara atau salah satu anggota majelis tidak hadir.
Absennya pengaturan seperti ini membuat biaya sidang bagi pencari keadilan menjadi mahal. Sebab, penggugat dan tergugat harus membayar uang jalan, transportasi, dan akomodasi pengacara, walaupun sidang ditunda.
Ketentuan tentang waktu penyerahan memori banding oleh pihak yang meminta banding juga tidak diatur. Konsekuensinya, pihak yang meminta banding bebas menunda-nunda penyerahan memori banding.
Tujuannya tentulah untuk mengulur-ulur waktu, agar pihak yang menang perkara atau pihak terbanding tidak dapat segera memperoleh haknya. HIR dan Rbg juga tidak mengatur kewenangan pengadilan untuk memaksa pembanding segera menyerahkan memori banding.
Dalam hukum lingkungan, ada satu fenomena umum, yaitu penggugat biasanya masyarakat miskin dan tidak berpendidikan, sedangkan tergugat sebaliknya, korporasi yang punya ahli dan uang. Kelebihan inilah yang membuat penegakan hukum lingkungan melalui pengadilan tidak disukai masyarakat korban, karena korporasi seperti PT Antam bisa mengulur-ulur waktu dan mempengaruhi banyak pihak. Begitu juga yang terjadi dalam kasus pencemaran laut oleh PT Newmont Minahasa Raya di Manado.
Belajar dari pengalaman ini, masyarakat korban pencemaran lain pasti enggan mempergunakan lembaga peradilan untuk memperoleh ganti rugi akibat pencemaran. Mereka ingin uang ganti rugi dibayarkan cepat agar bisa melanjutkan usaha dan hidup mereka. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan melalui citizen's suit seperti yang dinginkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1997 tidak bisa menjadi realitas.
Akhirnya masyarakat lebih suka berdemo dan mencari perhatian pemerintah untuk memfasilitasi permintaan ganti rugi. Dalam banyak hal, pemerintah biasanya lebih memihak korporasi. Alasannya, korporasi adalah agent of development, penyumbang pajak, dan penyedia banyak lapangan kerja.
Ujung-ujungnya, ganti rugi ditentukan secara semi-sepihak (mediasi semu), seperti dalam kasus lumpur panas Lapindo, Porong, Sidoarjo. Biasanya pemberian ganti rugi seperti ini sangat tidak adil dan semena-mena.
Bila citizen's law suit tidak jalan, hukum lingkungan akan menemui ajalnya alias mati. Sanksi administrasi tidak jalan karena kurang pahamnya pejabat pemerintah soal prosedur dan bentuk sanksi administrasi. Penegakan hukum melalui sanksi pidana juga tidak bisa diharapkan. Masalahnya, polisi dan jaksa lebih memprioritaskan kasus illegal logging atau narkoba ketimbang kasus lingkungan.
Dialog penegakan hukum lingkungan berlanjut dalam ruang kuliah fakultas hukum antara mahasiswa dan profesor. "Kenapa HIR dan Rbg-nya tidak diubah?" tanya salah seorang mahasiswa fakultas hukum kepada profesornya.
Berhubung profesornya seorang guru yang beraliran keras, dia menjawab, "Ini adalah dosa dan kesalahan Dewan Perwakilan Rakyat kita. Mereka lebih berlomba-lomba membuat undang-undang baru dengan cara studi banding ke luar negeri ketimbang memantau pelaksanaan undang-undang yang sudah ada." Seharusnya, DPR RI memprioritaskan perbaikan pengaturan hukum acara perdata. Barulah masyarakat bisa merasakan peradilan yang "sederhana, cepat, dan berbiaya ringan".
Sukanda HusinDEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS RIAU
No comments:
Post a Comment