Wednesday, December 26, 2007

Penegakan HukumBila Aktivisme Hukum Hakim Mati


Oleh: Sukanda Husin

Adelin Lis dituduh melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal sehingga merugikan negara Rp 227 triliun. Tidak tanggung-tanggung, jaksa membidiknya dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 UU Kehutanan.
Namun, hakim Pengadilan Negeri Medan berkesimpulan, dakwaan jaksa tidak terbukti. Hakim hanya menganggap terdakwa tidak menaati aturan Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI). Perbuatan itu disebut bukan perbuatan pidana (delik), hanya melanggar izin atau hukum administrasi. Karena itu, majelis hakim membebaskannya dari semua tuntutan pidana, baik korupsi maupun illegal logging (Koran Tempo, Selasa, 16 November 2007).
Berbagai pihak mengkritik putusan hakim. Ada yang menuding hakim tidak berpihak pada keadilan serta perlindungan hutan dan ekosistemnya. Ada lagi yang mengatakan bahwa hakim tidak peka terhadap kebijakan pemerintah dan keinginan rakyat serta tidak memiliki sense of crisis. Bahkan Mahkamah Agung akan melakukan eksaminasi terhadap vonis tersebut dan bila perlu, akan menjatuhkan sanksi terhadap majelis hakimnya (Koran Tempo, 7 November 2007).
Pada sisi berseberangan, hakim atau korpsnya pasti menampik itu dengan alasan bahwa putusan telah dibuat berdasarkan due process of law, fakta di persidangan, dan yang terpenting, keyakinan hakim. Padahal, Satjipto Rahardjo, guru besar hukum pidana, melalui artikelnya di Kompas, Jumat, 2 November (tiga hari sebelum putusan Pengadilan Negeri Medan dibacakan), telah mengingatkan hakim agar dalam memutus perkara, tidak hanya merujuk pada hukum, tapi juga pada rasa keadilan dan kondisi riil yang berkembang di masyarakat.
Pandangan ini menghendaki hakim supaya lebih progresif dalam memutus perkara dengan menggali nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Cara bekerja seperti itulah yang dikenal sebagai aktivisme hukum (judicial activism), yang menuntut daya pikir hakim yang tajam serta kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi.
Sekarang, mari kita kupas vonis itu secara jernih, kendati hanya berdasarkan bahan sekunder yang terkumpul dari surat kabar. Mudah-mudahan bisa membuka nuansa asumsi yang melarang penegakan hukum bagi perusahaan kayu yang sudah punya izin.
Dalam perkara Adelin, jaksa membidik perbuatan illegal logging-nya dengan dua macam tuntutan primer, yaitu korupsi dan illegal logging. Dalam tuntutan korupsi, jaksa menggunakan Pasal 2 UU Tipikor, yang unsurnya terdiri atas (1) setiap orang, (2) secara melawan hukum, (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan (4) perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur nomor 1 (setiap orang), nomor 3 (perbuatan memperkaya diri sendiri), dan nomor 4 (merugikan keuangan negara) tidak perlu kita perbincangkan karena sudah cukup jelas dan tidak diperdebatkan oleh majelis hakim.
Unsur nomor 2 (melawan hukum) adalah unsur yang dipersoalkan oleh hakim, yang menganggap perbuatan Adelin Lis memang melanggar Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan, tapi hakim mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai pelanggaran aturan atau izin TPTI, jadi bukan perbuatan pidana. Karena bukan perbuatan pidana, majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur melawan hukum Pasal 2 UU Tipikor tidak terpenuhi. Lalu bebaslah Adelin Lis.
Secara dangkal, mungkin pandangan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan itu bisa dibenarkan. Sebab, prinsip umum hukum pidana, sebagaimana tertera dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menyatakan bahwa tiada satu pun perbuatan dapat dipidana kalau undang-undang tidak menyebutkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan adagium ini, the man on the street atau orang yang tidak mengerti hukum menyimpulkan putusan Pengadilan Negeri Medan sudah tepat, karena perbuatan terdakwa yang hanya melanggar izin bukan perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum. Contohnya adalah pandangan Menteri Kehutanan (Kompas, 7 November 2007).
Namun, dari kacamata argumentasi hukum (legal reasoning), pandangan hakim Pengadilan Negeri Medan jelas sangat superfisial, karena hakim hanya mengartikan illegal logging sebagai perbuatan menebang kayu di area yang tidak ada izin. Dengan kata lain, kalau penebangan kayu dilakukan dalam kawasan yang sudah ada izin, tidak dapat diklasifikasi sebagai illegal logging. Di sinilah letak kekeliruannya. Hakim menyamaratakan saja permasalahannya. Izin TPTI jelas ada persyaratan ukuran kayu yang boleh ditebang. Kalau kayu yang ditebang tidak sesuai dengan ketentuan TPTI, penebangan itu juga harus diklasifikasikan sebagai illegal logging.
Illegal logging harus diartikan sebagai penebangan kayu secara melawan hukum. Melawan hukum di sini termasuk melawan peraturan perundang-undangan, seperti perizinan. Dalam hukum pidana, perbuatan pidana melanggar izin ini disebut delik formal (administrative-dependent crime), yaitu suatu perbuatan dianggap perbuatan pidana dengan melanggar izin an sich tanpa perlu membuktikan timbulnya akibat dari perbuatan.
Apalagi Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 ayat 1 UU Kehutanan dengan jelas menggambarkan bahwa perbuatan melanggar izin, termasuk izin TPTI, dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Dengan demikian, rasanya, pandangan hakim Pengadilan Negeri Medan sungguh bertentangan dengan roh Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 ayat 1.
Dalam hal tindak pidana illegal logging-nya, Adelin Lis dituntut oleh jaksa dengan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 UU Kehutanan, yang unsurnya adalah (1) setiap orang; (2) dengan sengaja; (3) melanggar izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (4) menimbulkan kerusakan hutan.
Bila disimak secara teliti keempat unsur perbuatan pidana yang disebut illegal logging, kita dapat melihat dengan jelas bahwa semua unsur telah terpenuhi. Adelin Lis bukan orang yang dikecualikan oleh Pasal 44, 48, 49, dan 50 KUHP. Karena itu, dia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Unsur sengaja dapat dibuktikan dengan perbuatannya yang menebang kayu secara berencana melanggar ketentuan TPTI. Unsur melanggar izin jelas terpenuhi karena dia mengeluarkan kayu tidak berdasarkan ketentuan izin TPTI. Unsur keempat juga terpenuhi karena perbuatan menebang kayu yang belum sepantasnya ditebang jelas akan menimbulkan kerusakan hutan.
Dengan terbuktinya keempat unsur Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan, hakim seyogianya menghukum Adelin Lis. Seandainya hakim memahami teori pemidanaan dengan baik, putusan yang harus dijatuhkannya adalah kebalikan dari apa yang terjadi sekarang.
Berdasarkan teori pemidanaan, untuk dapat dipidana atau tidaknya si pembuat bukan hanya bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan perbuatan pidana itu.
Karena saat ini pemerintah menyatakan genderang perang terhadap illegal logging, bila perbuatan itu dilakukan juga oleh seseorang, dia dapat dianggap tercela. Faktor inilah barangkali yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam perkara Adelin Lis.
Dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, di samping kemampuan bertanggung jawab, kesalahan (schuld), dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, perbuatan tersebut membahayakan masyarakat.
Illegal logging jelas perbuatan yang membahayakan lingkungan hidup dan ekosistemnya serta dapat mengakibatkan kemelaratan bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (carbon absorber) dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global (global warming). Dengan demikian, perbuatan illegal logging juga membahayakan masyarakat dunia sehingga pelakunya pantas dan patut dihukum.
Terakhir, hakim hendaknya berani melakukan breaking the rule. Katakanlah, hakim berkeyakinan bahwa perbuatan melanggar TPTI secara hukum tidak merupakan perbuatan pidana. Tapi majelis hakim perkara Adelin Lis pasti tahu bahwa illegal logging merupakan masalah multidimensional, yang menimbulkan akibat multidimensi yang dapat memperburuk kondisi lingkungan serta kondisi ekonomi bangsa dan negara.
Untuk itu, hakim harus lebih progresif dengan melanggar keyakinannya sendiri, yang belum tentu juga benar.
Sukanda Husin Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau

Monday, December 24, 2007

Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan

Denny Indrayana [1]


Indonesian state’s system has been reformed by the amandements of Constitution 1945. One of the changes is the flourished emerging of state commissions. Some are independence (independent regulatory agencies) and the others are parts of executive (Executive branch agencies). Most of all come after the fall of the New Order, in 1998. All of those agencies have different task which is stated in their statutory regulations. However, it is now strongly needed to evaluate the existence of those commissions due to its efficiency, effectiveness of its function, and relationship between any other state’s organs.

Ketatanegaraan Indonesia menampilkan wajah baru setelah ‘selesainya’ empat perubahan UUD 1945,[1] yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002. Reformasi konstitusi di era transisi itu – meski disusun dengan metode tambal-sulam dan tanpa perencanaan yang memadai, relatif mampu meletakkan sistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum amandemen, UUD 1945 hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis.[2]

Namun demikian, setelah hampir empat tahun, implementasi dari perubahan UUD 1945 masih belum menemukan bentuknya yang ideal. Sistem ketatanegaraan Indonesia masih saja gamang dan mencari bentuk. Salah satunya, reformasi institusional ketatanegaraan menemukan banyak masalah dan justru menumbuhkan keraguan publik. Beberapa pihak bahkan menyuarakan agar UUD 1945 yang “asli” diadopsi kembali, meski dengan argumentasi yang tidak terlalu jelas. Suara demikian kebanyakan diresonansikan oleh kelompok senior yang mempunyai keterkaitan romantisme sejarah yang kuat dengan konstitusi kemerdekaan tersebut.

Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya “komisi negara independen” (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan berlomba menghadirkan komisi negara. Tidak sedikit pembuatan undang-undang yang mewujudkan komisi negara baru.

A. Komisi Negara di Beberapa Negara

Komisi negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal sebagai administrative agencies. Menurut Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent.[3]

Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya.[4] Dalam bahasa Funk dan Seamon komisi independent itu tidak jarang mempunyai kekuasan “quasi legislative”, “executive power” dan “quasi judicial”.[5]

Beberapa komisi negara independen adalah juga organ konstitusi (constitutional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur di dalam konstitusi; sebutlah seperti yang ada Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika Selatan, Pasal 181 ayat (1) UUD-nya menyebutkan ada Human Rights Commission; Commission for the Promotion and Protection of the Rights of Cultural, Religious and Linguistic Communities; Commission for Gender Equality; dan Electoral Commission. Di Thailand, Pasal 75 konstitusinya mengatur bahwa negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi negara independen seperti: Election Commission, Ombudsmen, National Human Rights Commission, National Counter Corruption Commission dan State Audit Commission.

Namun, itu bukan berarti bahwa semua komisi negara independen pastilah diatur dalam konstitusi. Misalnya, ada sekitar 15 komisi negara independen di Amerika Serikat, antara lain: Federal Communication Commission, Securities and Exchange Commission, Federal Trade Commission, National Labour Relations Board, Nuclear Regulatory Commission dan Federal Reserved Board.[6] komisi negara independen berbeda dengan komisi negara biasa (state commissions). Menurut Michael R. Asimow, komisi negara biasa hanyalah bagian dari eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.[7]

Lebih jauh, mengutip keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Humprey’s Executor v. United States, Asimow berpendapat bahwa yang dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, karena jelas-tegas merupakan bagian dari eksekutif.[8] Hampir serupa, William F. Fox Jr. Berargumen bahwa suatu komisi negara adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan. Atau, bila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.[9]

Selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi presiden, Funk dan Seamon menambahkan bahwa sifat independen juga tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).[10]

B. Komisi Negara di Indonesia

Sesuai dengan definisi komisi negara independen di atas, di Indonesia saat ini ada 13 independent regulatory agencies. Komisi-komisi tersebut, lengkap dengan dasar hukum pembentukannya adalah:

No.

Komisi

Dasar Hukum

1.

Komisi Yudisial

Pasal 24B UUD 1945 & UU No. 22/2004

2.

Komisi Pemilihan Umum

Pasal 22E UUD 1945 & UU No. 12/ 2003

3.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Keppres 48/2001 – UU No. 39/1999

4.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Keppres No. 181/1998

5.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha

UU No. 5/1999

6.

Komisi Ombudsman Nasional

Keppres No. 44/2000

7.

Komisi Penyiaran Indonesia

UU No. 32/2002

8.

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

UU No. 30/2002

9.

Komisi Perlindungan Anak

UU No 23/2002 & Keppres No. 77/2003

10.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

UU No. 27/2004

11.

Dewan Pers

UU No. 40/1999

12.

Dewan Pendidikan

UU No. 20/2003

13.

Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan

Keppres No. 81/2003

Sumber: Diolah dari Kompas, 30 April 2005 dan Meneg PAN.

Sebelumnya, ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang juga independen serta dibentuk berdasarkan UU No. 28/1999 dan Keppres No. 127/1999. Namun, setelah berdirinya KPK, KPKPN dilikuidasi. Meski keputusan untuk membubarkan KPKPN tersebut cenderung kental dengan nuansa balas dendam anggota DPR yang merasa terganggu dengan ’galaknya’ kerja KPKPN; namun, harus diakui, penyatuan KPKPN ke dalam KPK adalah langkah efisiensi yang cukup tepat.

Berbalikan dengan KPKPN yang sudah ’almarhum’, beberapa rancangan undang-undang justru mengindikasikan akan lahirnya beberapa Komisi Negara Independen baru. RUU demikian adalah RUU Perlindungan Saksi yang merencanakan pembentukan Komisi Perlindungan Saksi dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang merencanakan terbentuknya Komisi Informasi.

Selain komisi negara independen, ada beberapa lembaga lain, namun bertanggung jawab kepada Presiden – atau merupakan bagian dari eksekutif – sehingga merupakan komisi negara eksekutif (executive branch agencies).[11] Komisi atau lembaga negara itu, beserta dasar hukumnya, yang menyebutkan ia berada di bawah atau bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri, adalah: [12]



No.

Komisi

Dasar Hukum

1.

Komisi Hukum Nasional

Keppres No. 15/2000

2.

Komisi Kepolisian

UU No. 2/2002

3.

Komisi Kejaksaan

UU No. 16/2004 dan Perpres No. 18/2005

4.

Dewan Pembina Industri Strategis

Keppres No. 40/1999

5

Dewan Riset Nasional

Keppres No. 94/1999

6

Dewan Buku Nasional

Keppres No. 110/1999

7.

Dewan Maritim Indonesia

Keppres No. 161/1999

8.

Dewan Ekonomi Nasional

Keppres No. 144/1999

9.

Dewan Pengembangan Usaha Nasional

Keppres No. 165/1999

10.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi

UU No. 41/1999 & Keppres No. 105/1999

11.

Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan

Keppres No. 80/2000

12.

Komite Akreditasi Nasional

Keppres No. 78/2001

13.

Komite Penilaian Independen

Keppres No. 99/1999

14.

Komite Olahraga Nasional Indonesia

Keppres No. 72/2001

15.

Komite Kebijakan Sektor Keuangan

Keppres No. 89/1999

16.

Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran

PP No. 102/2000

17.

Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Keppres No. 12/2000

18.

Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

Keppres No. 54/2005

19.

Dewan Gula Nasional

Keppres No. 23/2003

20.

Dewan Ketahanan Pangan

Keppres No 132/2001

21.

Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia

Keppres No. 44/2002

22.

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

Keppres No. 151/2000

23.

Dewan Pertahanan Nasional

UU No. 3/2003

24.

Badan Narkotika Nasional

Keppres No. 17/2002

25.

Bakornas Penanggulangan Bencana & Pengungsi

Keppres No. 3/2001 jo. Keppres 111/2001

26.

Badan Pengembangan Kapet

Keppres No. 150/2002

27.

Bakor Pengembangan TKI

Keppres No. 29/1999

28.

Badan Pengelola Gelora Bung Karno

Keppres No. 72/1999

29.

Badan Pengelola Kawasan Kemayoran

Keppres No. 73/1999

30.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Propinsi NAD dan Kep. Nias Sumatera Utara

Perpu No. 2/2005

31.

Badan Nasional Sertifikasi Profesi

PP No. 23/2004

32.

Badan Pengatur Jalan Tol

PP No. 15/2005

33.

Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

PP No. 16/2005

34.

Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat

Keppres No. 83/1999

35.

Lembaga Sensor Film

PP No. 8/1994

36.

Korsil Kedokteran Indonesia

UU No. 29/2004

37.

Badan Pengelola Puspiptek

Keppres No. 43/1976

38.

Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara

Keppres No. 85/1999

39.

Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional

Keppres Keppres No. 132/1998

40.

Lembaga Non Departemen (24 lembaga) [13]

Keppres No. 3/2002 perubahan Keppres No. 103/2001

Sumber: Diolah dari Kompas, 30 April 2005 dan Meneg PAN.

Di samping 40 komisi negara eksekutif di atas, masih ada satu lembaga penasihat presiden yang amanatnya diatur dalam Pasal 16 UUD 1945. Inilah lembaga yang menjadi pengganti dari Dewan Pertimbangan Agung, dengan kedudukan yang lebih rendah, karena tidak lagi merupakan lembaga negara tersendiri, tetapi hanya merupakan bagian dari lembaga kepresidenan.

C. EVALUASI KOMISI NEGARA

Evaluasi atas komisi negara di tanah air paling tidak perlu menyoroti tiga hal, yaitu: (1) problema eksistensinya yang mulai menginflasi; (2) efektifitas fungsi; (3) serta urgensi restrukturisasi komisi negara tersebut.

Dari tabel di atas jelaslah bahwa dari 13 komisi negara independen dan 40 komisi negara di lingkungan eksekutif – atau total 53 lembaga, hanya 2 lembaga saja yang telah ada sebelum era reformasi, atau sebelum mundurnya Soeharto di tahun 1998, yaitu: Badan Pengelola Puspiptek (1976) dan Lembaga Sensor Film (1994). Selebihnya, 51 negara atau 96,2% adalah lembaga baru pasca Orde Baru.

Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi pasca pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah lunturnya kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang diidamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya. Pengalaman Amerika Serikat menegaskan relasi antara doktrin kepercayaan publik (public trust doctrine) dengan hadirnya lembaga-lembaga negara federal.[14]

Di tanah air, ketidakpercayaan terhadap pelayanan pejabat negara melahirkan Komisi Ombudsman Nasional; ketidakyakinan terhadap penanganan masalah HAM, menghadirkan Komnas HAM. Di dunia peradilan ketidakpercayaan pada para hakim yang kabarnya kebanyakan korup memunculkan Komisi Yudisial; perilaku aparat kejaksaan yang menyimpang, memicu kelahiran Komisi Kejaksaan; tingkah-polah polisi yang menjadi penikmat mafia peradilan, merangsang kehadiran Komisi Kepolisian.

Inflasi Komisi. Sayangnya, di “negeri kampung maling” ini, menjamurnya komisi negara tidak berbanding lurus dengan berkurangnya problem kebangsaan. Justru Indonesia mulai memasuki masa inflasi komisi negara, yaitu titik jenuh yang justru dapat mereduksi urgensi eksistensi komisi itu sendiri. Telah lahir komisi negara baru yang fungsi dan perannya cenderung tidak jelas atau tumpang-tindih satu sama lain.[15]

Ketidakjelasan komisi negara di Indonesia terutama karena ketiadaan konsep ketatanegaraan yang komprehensif tentang apa dan bagaimana sebaiknya komisi negara. Komisi hanya lahir sebagai kebijakan yang reaktif-responsif, bukanlah preventif-solutif terhadap masalah kebangsaan. Terkadang, komisi cenderung dibentuk karena penguasa melihatnya sebagai suatu kebijakan yang populis, sehingga jika didukung akan menaikkan pamor politik sang penguasa. Akibatnya, kelahiran komisi negara hanyalah manipulasi dan dagangan elit politik semata, menjauh dari tujuan luhurnya guna membentuk sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis, modern dan anti-korupsi.[16]

Salah satu bukti absennya konsep komisi negara yang menyeluruh dan terencana adalah berbeda-bedanya dasar hukum kehadiran komisi negara tersebut (lihat tabel di atas). Ada yang hadir berdasarkan amanat Undang-undang Dasar, namun tidak sedikit pula yang lahir hanya berlandaskan keputusan atau peraturan presiden, bahkan senyatanya dua format terakhir inilah yang paling banyak digunakan. Perbedaan dasar hukum itu tidak hanya menunjukkan nihilnya koordinasi perencanaan pembentukan komisi negara, tetapi lebih jauh mengakibatkan berbedanya tingkat kewibawaan komisi tersebut.[17]

Bentuk minimnya komitmen elit politik pada pembentukan komisi makin tercermin dengan tidak adanya jaminan finansial bagi hidupnya komisi negara. Tidak sedikit komisi yang hidup enggan mati tak mau; menunggak tagihan-tagihan telepon dan listrik; hingga ujungnya ada yang mengusulkan lebih baik dibubarkan saja (Kompas, 28 Januari 2004). Kemiskinan infrastruktur komisi tersebut amat bertolak belakang dengan sangat beratnya beban kerja komisi – khususnya bagi komisi negara independen – untuk mendorong terciptanya sistem bernegara yang transparan, akuntabel dan bersih dari korupsi-korupsi kekuasaan.[18]

Efektifitas Fungsi. Dengan berbagai permasalahan konseptual, legal hingga finansial di atas, menjadi teramat wajar kalau kemudian komisi negara hanya menjadi macan kertas yang ompong. Hanya tampilannya yang sangar tetapi kenyataannya tidak mempunyai gigi untuk menggigit. Komnas HAM hanya menjadi lembaga yang kaya rekomendasi tetapi mandul dalam mengurangi pelanggaran HAM di tanah air; Komisi Ombudsman Nasional sibuk mengeluarkan rekomendasi anti-mafia peradilan, tetapi tetap belum efektif menciptakan peradilan yang anti praktik jual-beli keadilan. Dari 2.443 kasus pengaduan yang ditangani Komisi Ombudsman Nasional sejak Maret 2000 hingga Maret 2005, misalnya, 48 persen tidak ditanggapi oleh lembaga yang diadukan;[19] Komisi Hukum Nasional mengklaim banyak melakukan kerja nyata reformasi hukum, tetapi realita hukum Indonesia tetap saja korup sepanjang masa keberadaannya.

Nyatalah, keberadaan komisi-komisi yang menjamur tersebut tentu harus segera ditata guna secara jelas dan tegas mendorong demokratisasi di tanah air. Revitalisasi komisi-komisi tersebut penting agar mereka tidak hanya menjadi lembaga negara yang muncul responsif, sesaat dan akhirnya hilang ditelan zaman, karena pelaksanaan fungsinya tidak maksimal. Sejarah ketatanegaraan kita sudah membuktikan, bahkan lembaga negara yang keberadaannya dijamin konstitusi sekalipun, Dewan Pertimbangan Agung, akhirnya dilikuidasi karena dirasa tidak memberikan sumbangan yang berarti dalam menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan efektif. Hal yang serupa akan amat mungkin terjadi pada komisi-komisi negara yang kini ada dan terus bermunculan.[20]

Restrukturisasi. Perlu segera disusun blueprint lembaga negara, khususnya bagi institusi-instusi yang aturannya berada di luar konstitusi. Di dalam blueprint tersebut perlu ditegaskan bahwa komisi negara yang sebaiknya dipertahankan hanyalah komisi-komisi yang mempertegas dan memperkokoh bangunan negara hukum, yaitu komisi yang mendorong dan menjaga: (1) sistem peradilan yang independen dan berintegritas, bersih dari praktik mafia peradilan; (2) perlindungan hak asasi manusia; (3) kebebasan pers; dan (4) pemilihan umum yang jujur dan adil.

Acuan kedua bagi restrukturisasi komisi adalah urgensinya untuk menguatkan konsep separation of powers dalam kehidupan bernegara. Di Amerika Serikat berkembang doktrin pendelegasian kekuasaan (delegation doctrine) sebagai dasar konstitusional bagi pemisahan kekuasaan untuk komisi negara di luar lembaga-lembaga negara konvensional.[21] Inilah jawaban atas realitas makin kompleksnya permasalahan ketatanegaan modern. Model pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) konvensional yang hanya mengasumsikan adanya tiga cabang kekuasaan di suatu negara – eksekutif, legislatif dan yudikatif – sudah tidak lagi menjawab kompleksitas negara modern. Karena itu diperlukan independent regulatory agencies untuk melengkapi institusi ketatanegaraan modern, dengan model relasi saling imbang-saling kontrol yang lebih lengkap di antara lembaga-lembaga negara (state organs). Ackerman berpendapat:

… the American system contains (at least) five branches: House, Senate, President, Court, and independent agencies such as the Federal Reserve Board. Complexity is compounded by the bewildering institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is not complexity, but whether we Americans are separating power for the right reasons. [22] (cetak tebal oleh penulis).

Berdasarkan parameter parameter 4 syarat dasar negara hukum serta konsep pemisahan kekuasaan modern demikian, maka komisi negara yang patut dipertahankan adalah:

1. Komisi Yudisial; namun dengan perluasan tidak hanya kepada hakim tetapi kepada semua aparatur hukum. Artinya KY tidak hanya mengawasi hakim namun juga polisi dan jaksa. Dengan demikian Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan tidak diperlukan lagi, tetapi hanya akan menjadi bagian dari KY. Ada baiknya, KY dijadikan institusi yang fokus bagi administrasi peradilan. Masalah rekrutmen, promosi, mutasi hingga pemberian sanksi bagi para aparat hukum adalah wilayah kerja KY yang patut dipertimbangkan.

2. Komisi Ombudsman; lembaga ini diperlukan untuk mengawal agenda good governance.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi; lembaga ini penting untuk terus menjaga Indonesia yang bebas dari korupsi melalui upaya pencegahan dan penindakan hukum.

4. Komisi Nasional HAM; yang mempunyai divisi kerja perlindungan anak dan perempuan. Artinya Komisi Perlindungan Anak serta Komnas HAM Perempuan sebaiknya tidak lagi menjadi lembaga tersendiri.

5. Komisi Pers Indonesia; lembaga ini merupakan peleburan Dewan Pers Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia yang penting untuk menjaga prinsip kebebasan pers yang.

6. Komisi Pemilihan Umum; lembaga ini strategis untuk mengawal pemilihan umum yang luber dan jurdil bagi hadirnya sistem ketatanegaraan yang akuntabel.

Organ Konstitusi. Belajar dari Afrika Selatan dan Thailand, yang mencantumkan komisi negara itu menjadi organ konstitusi, seharusnya dasar hukum bagi komisi negara di atas lebih dikuatkan. Penguatan itu penting, misalnya, sebagai bentuk komitmen tegas pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komnas HAM dinaikkan status dasar hukumnya ke tingkat konstitusi. Jaminan konstitusional itu tidak hanya menambah amunisi kehidupan bagi kedua komisi negara itu, tetapi sekaligus menjadi signal yang kuat bagi peperangan melawan korupsi dan para penjahat HAM di tanah air.

Pengangkatan derajat beberapa komisi menjadi organ konstitusi juga strategis untuk mengantisipasi kemungkinan konflik. Dengan posisi sebagai organ konstitusi, komisi negara independen akan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi.

Komisi Biasa. Di samping menjadi organ konstitusi, untuk lembaga-lembaga ad hoc atau penunjang semata, beberapa komisi dapat dibentuk cukup berdasarkan undang-undang. Misalnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah lembaga yang dibutuhkan dalam konsteks transitional justice. Karena karakteristiknya, komisi ini tidak perlu menjadi lembaga permanen. Lebih jauh, fungsi selanjutnya dari lembaga ini dapat dilekatkan pada Departemen Hukum dan HAM, ketika kehadirannya sebagai institusi tersendiri dirasakan sudah cukup.

Yang lain, Komisi Perlindungan Saksi adalah institusi, yang dibentuk dengan dasar undang-undang. Tetapi karenanya yang hanya penunjang, lembaga ini cukup dijadikan institusi yang berada di dalam ranah eksekutif. Kehadiran komisi ini penting sebagai pelengkap instrumen perang melawan korupsi. Tanpa perlindungan saksi (witness protection) upaya-upaya memberantas pidana modern semacam korupsi, teror, narkoba dan sejenisnya akan amat sulit dilakukan.

Likuidasi. Komisi-komisi negara lain di luar penegasan konsep negara hukum dan fungsi transitional justice di atas, sebaiknya dilikuidasi. Pelikuidasian perlu dilakukan karena alasan strategis, teknis dan politis. Secara strategis tidak jarang keberadaan suatu komisi negara hanya menambah panjang rantai birokrasi dan tumpang tindih dengan fungsi-fungsi lembaga negara yang lain. Secara teknis, banyaknya komisi negara yang tumpang tindih tersebut melahirkan sistem pemerintahan yang tidak efisien dan cenderung menghamburkan uang negara semata.[23] Secara politis, banyaknya komisi negara cenderung hanya menjadi sarana antar partai politik untuk berbagi kursi kekuasaan bahkan meski seringkali mengorbankan efisiensi pemerintahan negara.

Berkait dengan efisiensi ini komisi negara yang berada di bawah presiden harus ditimbang lagi urgensinya. Komisi Hukum Nasional misalnya sebaiknya ditiadakan dan fungsinya cukup dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman. Demikian pula dengan komisi/lembaga/dewan/badan yang lainnya, misalnya Dewan Pendidikan dikembalikan fungsinya kepada Departemen Pendidikan Nasional. Intinya, semua komisi/lembaga/dewan/badan dinilai apakah masih diperlukan atau cukup dilaksanakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.

Audit. Pada fase memutuskan lembaga mana yang patut dilikuidasi (dihilangkan) atau dimerger (digabungkan) itulah fungsi audit kinerja kelembagaan dan audit keuangan yang profesional menjadi amat penting. Audit kinerja kelembagaan strategis untuk menentukan apakah suatu komisi memang sebaiknya terus eksis. Audit keuangan juga sangat penting untuk menilai akuntabilitas dan moralitas orang-orang yang bertugas di dalam menjalankan putaran roda kerja komisi. Jikalau audit kinerja kelembagaan menunjukkan eksistensi komisi justru merugikan, maka sewajibnya komisi dilikuidasi. Sama halnya, jikalau audit finansial menunjukkan anggota komisi tidak memegang sumpah-janji anti-korupsi, maka yang bersangkutan harus siap menerima sanksi untuk dibui sampai mati.[24]

D. TANTANGAN KOMISI NEGARA

Setelah proses restrukturisasi komisi dilakukan dengan blueprint mengacu pada prinsip dasar negara hukum dan konsep modern pemisahan kekuasaan, maka paling tidak ada 2 tantangan utama bagi komisi negara yang ke masa depan wajib diantisipasi: efektifitas fungsi; dan problema relasi antara lembaga negara.

Efektifitas Fungsi. Restrukturisasi dan revitalisasi komisi negara seharusnya diiringi dengan meningkatnya efektifitas kerja komisi. Khususnya bagi komisi negara independen, kemandirian itu harus tercermin dalam bentuk fungsi yang tidak sebatas dapat memberikan rekomendasi, namun lebih jauh sebaiknya dapat menjatuhkan sanksi.

Karena, patut dipahami bahwa antara prinsip independensi dengan fungsi rekomendasi adalah dua hal yang tidak sejalan. Bagaimana mungkin lembaga independen hanya berwenang memberi rekomendasi, yang tentunya dapat dijalankan atau tidak oleh lembaga penerima rekomendasi. Bukankah kalau suatu rekomendasi tidak dijalankan itu berarti independensi fungsi dari komisi yang bersangkutan tercederai?

Karenanya, menjadi wajib seharusnya untuk memberikan kewenangan eksekusi sanksi kepada Komisi Yudisial, misalnya. Terlebih konstitusi sendiri secara tegas mengamanatkan bahwa KY berwenang ”menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Kata ”menegakkan” seharusnya diikuti dengan konsep kewenangan yang konsisten yaitu: kekuatan eksekusi, bukan hanya rekomendasi. Rekomendasi selain tidak sesuai dengan kata ”menegakkan” juga bertentangan dengan konsep independennya Komisi Yudisial. Karena rekomendasi akan dengan mudah diabaikan, yang berarti ada intervensi – meski tidak langsung, dari lembaga penerima rekomendasi terhadap kemandirian Komisi Yudisial.[25]

Problema Relasi: Kasus MA – KY

Selain masalah efektifitas fungsi, tantangan komisi negara ke depan adalah relasinya dengan lembaga negara lainnya. Relasi MA dan KY, yang relatif terus bermasalah beberapa waktu terakhir adalah contoh konkrit tantangan relasi institusional tersebut.

KY dan MA seharusnya bersekutu ataukah berseteru? Itulah pertanyaan yang muncul akhir-akhir ini melihat terus meruncingnya relasi antara kedua lembaga tersebut, serta upaya-upaya perdamaian yang kemudian diupayakan berbagai pihak. Idealnya keduanya bersekutu untuk melawan mafia peradilan. KY dan MA berkoalisi untuk menggempur praktik judicial corruption. Tetapi itu adalah relasi ideal yang mengandaikan semua hakim di MA bersih dari praktik menyimpang. Padahal pada kenyataannya sulit membayangkan bahwa semua hakim-hakim di MA tidak terkontaminasi praktek judicial corruption.[26]

Secara kelembagaan, memang hubungan KY dan MA sebaiknya tidak selalu berkonflik. Namun, bukan berarti KY tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada hakim nakal. Artinya, teritori konflik harus dipindahkan dari wilayah institusional ke ranah personal. Tetapi kerjasama kelembagaan tersebut mensyaratkan – antara lain – kepemimpinan di kedua lembaga mempunyai satu visi yang sama untuk membumihanguskan praktik mafia peradilan. Pada tingkat inilah kesungguhan dan progresifitas pimpinan MA – yang kembali dipimpin oleh Bagir Manan – kembali diuji untuk dapat menyamai langkah cepat pembenahan dunia kehakiman yang sedang semangat-semangatnya disuarakan pimpinan KY. Tanpa kesamaan visi pemberantasan judicial corruption, konflik antara KY dan MA akan terus bernuansa institusional. Karena pimpinan MA akan berupaya untuk selalu menarik konflik personalnya dengan KY menjadi persoalan institusional.[27]

Pada dasarnya ada tiga jenis relasi antara lembaga negara, termasuk pula kemungkinan relasi KY dan MA, yaitu: konstruktif, kolutif dan konfrontatif. Relasi yang konstruktif adalah hubungan yang berjalan di atas kesepahaman untuk saling kontrol dan saling imbang (checks and balances) guna menciptakan peradilan yang lebih bersih dan berwibawa. Relasi yang kolutif menunjukkan bahwa KY tidak berfungsi sebagai lembaga pengawas hakim, melainkan hanya menjadi pemberi stempel bersih kepada apapun keputusan para hakim. Hubungan yang kolutif ini kemungkinan terjadi jika KY sendiri sudah pula terkontaminasi penyakit kotor mafia peradilan. Relasi ketiga, konfrontatif, adalah hubungan KY dan MA yang selalu berseteru.[28]

Untuk membayangkan betapa merusaknya relasi KY dan MA yang kolutif dan konfrontatif maka bisa dianalogkan hubungan keduanya dengan relasi Presiden dengan DPR. Hubungan presiden dengan DPR yang terlalu mesra akan menghadirkan relasi yang kolutif dan menyebabkan DPR tidak akan kritis. Fungsi pengawasan DPR menjadi mandul dan setiap kebijakan pemerintah yang keliru sekalipun akan mendapatkan permakluman dan persetujuan DPR. Hubungan kolutif demikian amat nyata terjadi di masa kepresidenan Soeharto.[29]

Sama merusaknya dengan relasi yang kolutif, hubungan yang konfrontatif juga akan menyebabkan kehidupan bernegara akan terus berkonflik dan terganggu. Pengalaman di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan bagaimana konfrontasi di antara presiden dengan parlemen yang berlangsung terus-menerus telah melahirkan kelelahan serta kejenuhan politik yang luar biasa.[30]

Sama halnya dengan relasi Presiden dengan DPR, hubungan KY dan MA adalah hubungan saling kontrol saling imbang yang sebaiknya konstruktif. Itu artinya, konfrontasi institusional berkepanjangan yang sekarang terjadi harus segera diakhiri. KY dan MA memang harus duduk untuk menyusun agenda kerja bersama melawan mafia peradilan. Agenda itu dapat berupa memorandum of understanding yang menjelaskan standard operating procedures (SOP) bagaimana seharusnya proses pemeriksaan hakim; apakah putusan dapat menjadi obyek pemeriksaan oleh KY; dan seterusnya.[31]


Kontrol.
Di sisi lain, paralel dengan penguatan kehidupan komisi negara, harus juga diiringi dengan pemaksimalan pengawasan terhadap kerja komisi tersebut. Prinsip bahwa komisi negara adalah lembaga yang independen bukan berarti anggota-anggotanya steril dari sanksi hukum. Konsep kemandirian hanya bersifat institusional, tetapi tidaklah personal. Artinya, hanya institusilah yang tidak dapat diintervensi kewenangannya, tetapi anggota-anggota komisi wajib untuk dijatuhi sanksi jikalau melakukan kejahatan kemanusiaan, misalnya korupsi.[32] Hal tersebut sejalan dengan praktek di Amerika Serikat yang kontrol terhadap independent regulatory agencies dilakukan melalui mekanisme rekrutmen dan pemberhentian pimpinan komisi, tentu dengan tetap memperhatikan aturan yang ada di peraturan perundangan terkait.[33]

PENUTUP

Komisi negara independen (independent regulatory agencies) atau komisi eksekutif (executive branch agencies) memang menjamur di masa transisi Indonesia pasca rezim otoriter Soeharto. Komisi demikian harus direstrukturisasi, dirampingkan dan direvitalisasi, antara lain dengan menjadikannya sebagai organ konstitusi (constitutional organ). Revitalisasi komisi harus diikuti dengan meningkatkan efektifitas fungsi komisi untuk tidak hanya sebagai pemberi rekomendasi; serta menata relasinya dengan lembaga negara lain untuk menegaskan cita negara hukum serta prinsip modern separation of powers dan konsep dasar saling kontrol-saling imbang. (*)


DAFTAR PUSTAKA

Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review vol. 113 (2000).

David Schoenbrod, Separation of Powers and the Powers That be: The Constitutional Purposes of the Delegation Doctrine, The American University Law Review vol. 36 (1987).

Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, Disertasi Ph.D., the Faculty of Law, University of Melbourne (2005).

Denny Indrayana, Inflasi Komisi, Inflasi Rekomendasi, Media Indonesia 28 September 2005.

Denny Indrayana, KY dan MA Sekutu atau Seteru, Media Indonesia.

Denny Indrayana, Merevitalisasi Komisi Negara di Negeri Kampung Maling, Kompas 30 April 2005.

Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (2005).

Inflasi Komisi Inflasi APBN, Kompas 30 April 2005.

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14 – 18 Juli 2003.

Michael R. Asimow, Administrative Law (2002).

Nur Hidayati, Menggenjot Kinerja Butuh Komitmen Kuat, Kompas 30 April 2005.

Susan D. Baer, The Public Trust Doctrine – A Tool to Make Federal Administrative Agencies Increase Protection of Public Law and Its Resources, Boston College Environmental Affairs Law Review vol. 15 (1988).

William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (2000).

William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples & Explanations (2001).



[1] Tidak pernah ada konstitusi yang ‘selesai’. Perubahan adalah syarat dasar bagi suatu konstitusi yang demokratis, atau tidak jarang dikenal sebagai suatu living constitution.

[2] Lebih jauh lihat: Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, Disertasi Ph.D., the Faculty of Law, University of Melbourne (2005).

[3] Michael R. Asimow, Administrative Law (2002) hal. 1.

[4] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14 – 18 Juli 2003.

[5] William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples & Explanations (2001) hal. 23 – 24.

[6] Ibid 6 – 7.

[7] Asimow, n 5, hal. 2.

[8] Ibid hal. 20.

[9] William F. Fox Jr, Understanding Administrative Law (2000) hal. 56.

[10] Funk dan Seamon, n 7, hal. 7.

[11] Fox, n 11, hal. 57.

[12] Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara (2005) hal. 92 – 105.

[13] Ke 24 lembaga negara non departemen itu bukan Komisi Negara Independen karena termasuk lembaga pemerintah. Organ-organ negara itu adalah: Lembaga Administrasi Negara (LAN), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Perpustakaan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara, Badan Urusan Logistik (Bulog), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Informasi Nasional (LIN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar).

[14] Susan D. Baer, The Public Trust Doctrine – A Tool to Make Federal Administrative Agencies Increase Protection of Public Law and Its Resources, Boston College Environmental Affairs Law Review vol. 15 (1988) hal. 382.

[15] Denny Indrayana, Merevitalisasi Komisi Negara di Negeri Kampung Maling, Kompas 30 April 2005.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Nur Hidayati, Menggenjot Kinerja Butuh Komitmen Kuat, Kompas 30 April 2005.

[20] Denny Indrayana, Inflasi Komisi, Inflasi Rekomendasi, Media Indonesia 28 September 2005.

[21] David Schoenbrod, Separation of Powers and the Powers That be:The Constitutional Purposes of the Delegation Doctrine, The American University Law Review vol. 36 (1987) hal. 388 – 389.

[22] Bruce Ackerman, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review vol. 113 (2000) hal. 728.

[23] Inflasi Komisi Inflasi APBN, Kompas 30 April 2005.

[24] Indrayana, Merevitalisasi... n 17.

[25] Indrayana, Inflasi... n 22.

[26] Denny Indrayana, KY dan MA Sekutu atau Seteru, Media Indonesia.

[27] Ibid.

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Indrayana, Merevitalisasi… n 17.

[33] Fox, n 11, hal. 55.



[1] Dosen hukum tata negara, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM dan Direktur Indonesian Court Monitoring,