Friday, June 29, 2007

Menghukum Pelaku Penyelundupan BBM

Oleh Lucky Raspati
Senin, 3 Oktober 2005



Persoalan penyelundupan BBM (bahan bakar minyak) di Indonesia merupakan hal yang biasa terjadi. Begitu pula dalam proses pengungkapannya. Tak terhitung jumlah kasus penyelundupan BBM terjadi, dan tak terhitung pula berapa kasus tersebut yang diungkap.
Tetapi sayang, dari sekian banyak kasus yang terungkap, sangat jarang kita melihat kasus tersebut selesai secara hukum.

Mungkin atas dasar ini, Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) merasa perlu turun tangan ikut mengungkap kasus penyelundupan BBM yang terjadi di Lawe-lawe, yang diduga melibatkan oknum-oknum Pertamina, kepolisian dan TNI. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan turun tangannya SBY dalam mengungkap kasus tersebut bisa menciptakan kepastian hukum, khususnya menghukum orang-orang yang diduga telah melakukan tindakan merugikan negara ini?
Kalau dirunut ke belakang, persoalan penyelundupan BBM yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini memang membuat kita terperangah. Bayangkan, sejak bulan Maret sampai dengan akhir Agustus 2005 tidak kurang terjadi 7 kali upaya penyelundupan BBM ke luar negeri dengan total BBM yang diselundupkan mencapai 1.000 ton lebih. Sementara dari total kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik penyelundupan ini, tidak kurang sekitar Rp 8,8 triliun setiap tahun.
Motivasi apa yang mendorong SBY tampil terdepan ikut mengungkap kasus penyelundupan BBM? Bukankan SBY bisa memerintahkan Kapolri untuk mengungkap kasus ini? Apakah sikap SBY ini merupakan wujud kekesalannya terhadap politik "tidak tahu malu" Pertamina, yang dinilai sejumlah kalangan hanya bisa merongrong negara dan masyarakat untuk menutupi ketidak-becusan mengelola BBM?
Sikap Presiden SBY turut aktif mengungkap kasus penyelundupan minyak memiliki dua makna mendasar.
Pertama, ada keinginan kuat dari SBY untuk mengriminalisasikan seluruh tersangka pelaku penyelundupan minyak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak. Termasuk di dalamnya jajaran oknum pimpinan Pertamina, TNI dan Polri serta pihak-pihak terkait lainnya.
Kedua, SBY ingin memberi peringatan dini (early warning) kepada seluruh aparat penegak hukum di bawah jajarannya untuk sungguh-sungguh menegakkan hukum.
Spekulasi terakhir ini menarik untuk di elaborasi. Bukankah persoalan penegakan hukum di Indonesia atas kasus penyelundupan lebih sering berkisar dalam tataran pengungkapan saja? Kalaupun ada yang sampai di akhir persidangan, bisa ditebak bahwa tersangka pelaku-pelaku yang dihukum adalah operator lapangan saja.
Hal ini bisa terjadi, antara lain karena belum terciptanya kesatuan visi dan misi di antara aparat penegak hukum dalam memandang kasus tindak pidana penyelundupan.
Saling tarik-menarik kewenangan di antara aparat kejaksaan dan kepolisian, tidak adanya koordinasi yang baik di antara sub-sistem peradilan pidana dan keterbatasan logika berpikir hakim dalam menemukan hukum (recth finding) terhadap hukum yang hidup (living law) merupakan masalah yang sering muncul dalam kasus penegakan hukum atas tindak pidana penyelundupan.
Keseriusan SBY ikut mengungkap kasus penyelundupan BBM setidaknya bisa dijadikan momentum bagi seluruh jajaran aparat penegak hukum untuk menyamakan visi dan misi menyangkut penegakan hukum atas kasus penyelundupan.
Tampilnya SBY sebagai "representasi" dari institusi Polri dan Kejaksaan, harus diiringi dengan komitmen yang kuat dari Ketua Mahkamah Agung untuk lebih serius mendorong hakim-hakim bawahannya untuk bersikap lebih berani dan serius dalam memutus kasus-kasus penyelundupan.
Terlebih, hal ini telah didukung secara penuh oleh organisasi profesi advokat. Deny Kailimang (Ketua AAI) menyatakan bahwa advokat harus mendukung upaya penegakan hukum atas kasus penyelundupan BBM, bukan malah menghalang-halangi proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penyelidik dan penyidik.

Koordinasi

Kesamaan visi dan misi dalam proses penegakan hukum tidaklah cukup. Kesamaan visi dan misi juga harus dibarengi dengan melakukan tindakan-tindakan koordinasi di antara aparat penegak hukum yang ada. Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, harus dilaksanakan dengan menggunakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) seperti yang diamanatkan pada KUHAP. Dalam memusatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan dan pemasyarakatan, penyidik dan penuntut umum harus dapat bekerja sama dengan baik agar proses penyidikan dapat berjalan dengan cepat dan tepat dan tentunya dengan tetap memperhatikan hak dari tersangka yang telah dijamin dalam KUHAP.
Dalam ranah hukum pidana, kualifikasi kejahatan penyelundupan BBM memenuhi unsur pidana sekurang-kurangnya 2 macam aturan perundang-undangan. Yakni, Undang-undang tentang Migas dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 55 UU Migas dinyatakan, "Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah)."
Sementara dari UU Tindak Pidana Korupsi, perbuatan tersangka memenuhi unsur pidana dari pasal 2 UU TPK, yakni: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dan melihat fakta-fakta bahwa penyelundupan ini telah dilakukan secara berulang-ulang dan sangat merugikan keuangan dan stabilitas negara, timbul pertanyaan, hukum mana yang layak dikenakan kepada para tersangka pelaku?
Tanpa bermaksud menggurui, kiranya sudah saatnya aparat penegak hukum lebih keras menghukum para pelaku penyelundupan. Dan, hal ini bisa dimaksimalkan dengan mempergunakan instrumen UU Anti Korupsi yang ada. Banyak alasan yang bisa dipakai untuk membenarkan penggunaan UU Anti Korupsi terhadap kasus penyelundupan BBM. Salah satunya adalah kejahatan ini dilakukan pada saat negara dalam keadaan "tertentu". Tertentu yang dimaksud adalah suatu kondisi di mana kondisi negara dalam keadaan genting dan cenderung tidak stabil, baik secara ekonomi, sosial dan keamanan.
Pertanyaannya sekarang, mungkinkah hal ini akan terwujud? Seperti kata Presiden SBY, biarkan aparat penegak hukum bekerja dulu! ***


Penulis pengajar Hukum Pidana Khusus Fakultas HukumUniversitas Andalas, Padang Sumatra Barat

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi



Bencana transportasi di Indonesia,baik di darat,laut dan udara ditengarai karena ulah manajemen perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan kelayakan teknis dengan tujuan melakukan penghematan biaya investasi. Pertanyaan yang bisa dimunculkan atas sinyalemen ini,cukupkah persoalan ini diletakkan dalam konteks tanggung jawab sosial? Adilkah bagi korban?


Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pengabaian regulasi di bidang bisnis transportasi Indonesia dengan mengabaikan regulasi yang ada merupakan perbuatan bisnis kotor (dirty bussines). Tujuan meraih keuntungan sebesarbesarnya dengan mempergunakan modal seminim-minimnya, mengabaikan faktor keselamatan manusia merupakan manifestasi sikap kriminal.Tren bisnis menghalalkan segala cara ini sangat berbahaya. Terlebih bisnis transportasi terkait erat dengan nyawa manusia. Hal itu tidak saja merupakan pengingkaran tanggung jawab sosial, juga merupakan kejahatan serius.
Penelitian yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat menunjukkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi sangat sulit ditemukan,diinvestigasi,atau untuk dikembangkan secara sukses sebagai kasus-kasus hukum oleh karena kompleksitas dan kerumitannya. Masyarakat menganggap,kejahatan kerah putih (white collar crime) dan kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan tindak pidana yang lebih serius daripada tindak pidana lainnya seperti pembobolan (burglary) dan perampokan (robbery).(Sutan Remi:2006)
Dalam kasus-kasus kecelakaan transportasi,pertanggungjawaban pidana harus diperluas,bukan hanya terhadap individu,juga kepada korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana.Pertanggungjawaban pidana korporasi penting untuk dimintakan karena sangat tidak adil, jadinya apabila perusahaanperusahaan yang mengabaikan regulasi yang telah ditetapkan,lepas dari jeratan hukum,padahal perbuatan perusahaan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Disejajarkannya kata pelaku dan korporasi,memiliki makna bahwa keduanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara sendirisendiri, bukan alternatif.Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat perbuatan individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Kepada korporasi lebih ditujukan untuk ’’mengganti”kerugian yang ditimbulkan dalam kerangka menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan.
Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi ketimbang pertanggungjawaban individual dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn (2002).Pertama,tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi,perusahaan- perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan.
Kedua,dalambeberapa kasus,demi tujuan prosedural,lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya.
Ketiga,dalam hal tindak pidana serius,sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut.
Keempat,ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya.Kelima, apabilasebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja.
Keenam,pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaanperusahaan untuk menekan pegawainya,baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh,publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya.

Strict Liability


Dari sisi hukum pidana,pertanggungjawaban pidana korporasi dimungkinkan melalui doktrin strict liability.Doktrin strict liability dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan solusi atas ’’abu-abunya”posisi korporasi sebagai subjek hukum pidana. Sekaligus jawaban atas masalah ’’sulitnya” membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yang diduga melakukan tindak pidana.
Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)para pelaku.Tetapi ditekankan kepada hal, akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.Cukuplah apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan yang dilarang ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana (offences of strick liability). ***
Banyak kalangan berharap,bencana transportasi di Indonesia tidak lagi diletakkan dalam pembenahan regulasi, tetapi lebih menyentuh sisi penegakan hukum terhadap korporasi.Pembentukan tim pencarian nasional,asuransi bagi korban dan lain-lain tidaklah cukup dijadikan alasan pembenar bahwa korporasi telah bertanggung jawab kepada korban (masyarakat)
Kasus bencana transportasi seharusnya dijadikan ’’pintu masuk” aparat penegak hukum untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada elite-elite dan owners perusahaan yang melakukan pelanggaran regulasi.Dari sisi ini,jika aparat penegak hukum bisa membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pekerja di bidang transportasi merupakan tindakan dalam rangka memberikan manfaat kepada perusahaan,berupa keuntungan finansial ataupun keuntungan-keuntungan lainnya, pertanggungjawabannya secara pidana harus dikedepankan.Dengan kasus ini, sekarang saatnya dilahirkan precedent tentang pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi.
Hal ini sekaligus test case bagi aparat bagaimana meminta pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia. Di luar paparan di atas,langkah penting yang harus dilakukan menyempurnakan ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam rancangan KUHP yang baru. Dengan penyempurnaan,berupa kejelasan syarat dan mekanisme hukum pertanggungjawaban pidana korporasi,diharapkan persoalan pidana oleh korporasi diselesaikan melalui cara-cara yang beradab.

(*) LUCKY RASPATI Staf Pengajar Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang