Wednesday, December 19, 2007

Jerat Tidak Pas Lumpur Panas

Oleh :

Lucky Raspati
Staf Pengajar Hukum Pidana FH Univ Andalas, Padang


Kecenderungan pemerintah dalam menyikapi bencana lumpur panas yang terjadi di Siduarjo sudah sangat mengkhawatirkan. Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas yang oleh sebagian pakar dicurigai merupakan siasat untuk mengambil alih tanggung jawab dari Lapindo Brantas. Inc merupakan suatu hal yang harus diwaspadai. Sangat naif rasanya, sebuah kejahatan yang seharusnya diberi hukuman, malah dibiarkan begitu saja terjadi tanpa adanya pertanggungjawaban secara hukum.

Penanganan kasus lumpur panas di Siduarjo yang jauh dari ”aroma hukum” sekarang ini, seolah memberi bukti bahwa penegakan hukum terhadap korporasi adalah suatu hal yang mustahil dilakukan. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia seolah-olah selalu baik dan jauh dari hal-hal yang melanggar hukum. Kalaupun ditemukan fakta bahwa telah terjadi kecurangan-kecurangan dan pelanggaran hukum yang melibatkan suatu korporasi, maka penangannya selalu terbatas pada penegakan hukum terhadap pelaku dilapangan.

Konon, inilah ciri khas aparat penegak hukum Indonesia ketika berhadapan dengan korporasi yang melakukan kejahatan. Di Indonesia, aparat penegak hukum cenderung untuk tidak mau repot dan bersusah payah mengelaborasi suatu permasalahan hukum menyangkut korporasi. Segala sesuatu dilihat dari kacamata kepasrahan , kalau sudah terjadi bencana, itu terjadi karena takdir dari yang Maha Kuasa. Sehingga tak perlu repot-repot untuk berpikir bagaimana cara untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi.

Parahnya lagi, hal ini diamini oleh petinggi-petinggi negara di republik ini. Mereka bukannya menciptakan suasana kondusif guna mendorong aparat penegak hukum di jajaran bawah confidence melakukan tugasnya, malah menakut-nakuti, kalau tidak boleh dibilang menghalang-halangi aparat menjalankan tugasnya. Tengoklah pernyataan Ketua Mahkamah Agung dan Ketua DPR RI meminta agar Pemerintah sebaiknya menghentikan proses hukum dan jangan menempuh jalur hukum untuk mencari kesalahan Lapindo (Harian Bisnis Indonesia 03/08 dan suarasurabaya.net 4/08).

Timbulnya pertanyaan, benarkah korporasi tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum? Adakah hukum positif yang mengatur tentang pertanggungjawaban hukum oleh korporasi di Indonesia ?

Kejahatan Korporasi !

Dalam kontruksi hukum positif di Indonesia, sebenarnya perundang-undangan telah membuka peluang kepada aparat penegak hukum untuk dapat menjerat para aktor intelektual dan korporasi ke meja hukum. Dan hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi perbuatan pelaku/pengurus dilapangan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Apabila perbuatan pelaku/pengurus tersebut bekerja untuk dan atas nama korporasi, maka pelaku/pengurus tersebut dapat dipersamakan dengan perbuatan korporasi itu sendiri.

Dalam kontek kasus Lapindo ini misalnya, dari hasil penyidikan yang telah dilakukan, aparat penyidik Polda Jawa Timur telah menetapkan status tersangka kapada 9 orang pagawai Lapindo, dan dari hasil penyidikan ditemukan adanya unsur kelalaian dalam kasus tersebut (gatra.com). Unsur kelalaian yang ditemukan adalah dalam melakukan eksplorasi , para pekerja tidak melakukan pekerjaannya secara profesional dan aman menurut kaidah-kaidah keteknikan yang baik. Demi melakukan efisiensi secara over, yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara maksimal, para pekerja tidak mengindahkan ketentuan tentang prasyarat harus adanya casing dengan diameter dan ketebalan tertentu ketika melakukan eksplorasi.

Sementara dari analisis oleh para pakar, diduga penyebap terjadinya semburan lumpur panas ini akibat pelaksanaan kerja yang tidak aman (unsafe practices), Kekurangan-kekurangan yang dapat membahayakan jiwa (grave shorcoming), dan kekurangan-kekurangan lain yang sangat signifikan (significant flaws) sehubungan dengan pelaksanaan kerja yang menyangkut keselamatan pekerja.

Dari hasil temuan dan analisis pakar tersebut diatas, timbul pertanyaan, apakah hal ini tidak diketahui oleh Lapindo sebagai korporasi? Jawabnya adalah ya. Lapindo sebagai korporasi pasti telah mempertimbangkan dan merestui tindakan para pekerja yang melakukan tugasnya dengan tidak profesional tersebut. tujuannya demi mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menekan biaya produksi serendah mungkin.

Pada titik inilah, diduga kuat Lapindo sebagai korporasi telah melakukan kejahatan. Meskipun perbuatan diabaikannya ketentuan diatas tidak dilakukan oleh Lapindo sebagai korporasi, tetapi harus dicatat bahwa tidak mungkin para pekerja tersebut melakukan pekerjaanya atas tujuan dan keinginan dirinya sendiri. Orang-orang yang bekerja di korporasi tersebut melakukan tugasnya untuk dan atas nama korporasi dan bertujuan memberikan manfaat kepada korporasi berupa keuntungan finansial ataupun keuntungan-keuntungan lainnya bagi korporasi tersebut. (Sutan Remi:2006).

Secara normatif, dengan mengetahui dan bahkan memberikan restu kepada para pekerja untuk tetap melakukan eksplorasi, lapindo sebagai korporasi telah membiarkan terjadinya suatu perbuatan yang secara nyata melanggar hukum positif yang ada, yakni membiarkan pekerja mengabaikan ketentuan tentang pelaksanaan kerja yang aman. Dan hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 40 ayat 1 dan 2 dan 3, Undang-undang No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan sebagai berikut; Ayat 1, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik. Ayat 2 Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Dan ayat 3, Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.

Dari sisi ini, sangat kuat alasan untuk menyatakan bahwa Lapindo telah melakukan kejahatan korporasi. Diabaikan ketentuan pasal 40 Undang-undang No 22 Tahun 2001, oleh pekerja, yang pada hakekatnya melakukan sesuatu untuk dan atas nama lapindo sebagai korporasi telah mengakibatkan terjadinya bencana lumpur panas dan pencemaran lingkungan. Dan lapindo sebagai korporasi harus bertanggungjawab terhadap kejadian ini.

Dari asumsi diatas, maka seharusnya aparat penegak hukum bekerja secara pro aktif guna meminta pertanggungjawaban lapindo secara hukum. Termasuk dengan menjerat Lapindo dengan pasal-pasal pencemaran lingkungan, yang pada dasarnya membuka peluang dipergunakannnya instrumen hukum pidana kepada Lapindo, sebab dalam ketentuan UU Lingkungan, jelas dinyatakan bahwa korporasi merupakan salah satu subjek hukum pidana.

Butuh Keberanian

Setiap kejadian pasti ada hikmahnya, begitulah bunyi pepatah yang kita kenal. Terjadinya bencana lumpur panas ini disamping menimbulkan kesengsaraan terhadap masyarakat, juga mempunyai hikmah yang besar bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah terciptanya moment guna dilaksanakannya penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan kegiatannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk melakukan hal tersebut memang dibutuhkan keberanian yang sangat besar dari aparat penegak hukum untuk menajalankan tugas-tugasnya, termasuk didalamnya menyeret korporasi kemeja hukum, tentunya dengan konsekwensi siap untuk menerima kekalahan dipersidangan nantinya.

Hal ini penting dilakukan untuk setidak-tidaknya menciptakan precedent hukum bagi pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia, sehingga kedepan diharapkan tercipta acuan hukum yang bisa dijadikan panduan apabila di masa-masa mendatang terjadi kejahatan yang melibatkan korporasi.

Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kepastian hukum. Meskipun ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan ”ketentuan usang”, karena ketentuan ini telah diperkenalkan dalam stelsel hukum pidana kita sejak tahun 1951, tetapi karena tidak pernah dipergunakan maka hal ini tetaplah menjadi hal baru dan sangat penting untuk dilaksanakan.

Belajar dari pengalaman negara lain, penegakan hukum terhadap korporasi sangat penting untuk dilakukan, karena tidak semua korporasi dalam menjalankan aktifitasnya memiliki itikad baik. Bisa saja suatu korporasi melakukan perbuatan tercela, curang, praktek bisnis kotor dengan melakukan pelanggaran hukum, dimana tujuan akhirnya adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi bisnis mereka, dan hal ini dilakukan dengan mengorbankan rasa keadilan masyarakat.

*************

“it doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy interprets the law say” begitulah salah satu adagium yang dikenal dalam ilmu hukum. Artinya pelaksanaan hukum oleh penegak hukum atas penafsirannya terhadap ketentuan undang-undang adalah realitas hukum yang sebenarnya.

Penegakan hukum terhadap korporasi. Hal ini disamping bertujuan memenuhi rasa keadilan masyarakat juga untuk menciptakan efek preventif (pencegahan) bagi korporasi-korporasi lainnya yang berniat melakukan kejahatan. Dengan dibawanya korporasi yang melakukan kejahatan ke peradilan formal diharapkan dimasa mendatang korporasi-korporasi yang mencoba untuk berbuat curang akan berpikir ulang, mengingat disamping ancaman sanksi yang sangat berat, juga menciptakan image buruk bagi perusahaan mereka.

Persoalannya sekarang terletak kemauan (good will) penegak hukum untuk memberdayakan sanksi pidana terhadap korporasi. Akankah pasal-pasal tentang pertanggungjawaban pidana korporasi tenggelam di lumpur panas? Tanyakan kepada aparat penegak hukum!

No comments: