Indonesian state’s system has been reformed by the amandements of Constitution 1945. One of the changes is the flourished emerging of state commissions. Some are independence (independent regulatory agencies) and the others are parts of executive (Executive branch agencies). Most of all come after the fall of the New Order, in 1998. All of those agencies have different task which is stated in their statutory regulations. However, it is now strongly needed to evaluate the existence of those commissions due to its efficiency, effectiveness of its function, and relationship between any other state’s organs.
Ketatanegaraan Indonesia menampilkan wajah baru setelah ‘selesainya’ empat perubahan UUD 1945, yang secara berantai dilakukan MPR selama 4 tahun, sejak 1999 hingga 2002. Reformasi konstitusi di era transisi itu – meski disusun dengan metode tambal-sulam dan tanpa perencanaan yang memadai, relatif mampu meletakkan sistem ketatanegaraan anyar yang lebih baik. Tentu di sana-sini ada kekurangan hasil perumusan, namun dibandingkan dengan konstitusi sebelum amandemen, UUD 1945 hasil amandemen adalah konstitusi yang lebih demokratis.
Namun demikian, setelah hampir empat tahun, implementasi dari perubahan UUD 1945 masih belum menemukan bentuknya yang ideal. Sistem ketatanegaraan Indonesia masih saja gamang dan mencari bentuk. Salah satunya, reformasi institusional ketatanegaraan menemukan banyak masalah dan justru menumbuhkan keraguan publik. Beberapa pihak bahkan menyuarakan agar UUD 1945 yang “asli” diadopsi kembali, meski dengan argumentasi yang tidak terlalu jelas. Suara demikian kebanyakan diresonansikan oleh kelompok senior yang mempunyai keterkaitan romantisme sejarah yang kuat dengan konstitusi kemerdekaan tersebut.
Salah satu kecenderungan wajah ketatanegaraan Indonesia transisi, serta setelah perubahan UUD 1945 adalah lahirnya “komisi negara independen” (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non struktural lainnya, seperti komisi eksekutif (executive branch agencies). Bak jamur di musim hujan, semua bidang kenegaraan berlomba menghadirkan komisi negara. Tidak sedikit pembuatan undang-undang yang mewujudkan komisi negara baru.
A. Komisi Negara di Beberapa Negara
Komisi negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal sebagai administrative agencies. Menurut Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent.
Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya. Dalam bahasa Funk dan Seamon komisi independent itu tidak jarang mempunyai kekuasan “quasi legislative”, “executive power” dan “quasi judicial”.
Beberapa komisi negara independen adalah juga organ konstitusi (constitutional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur di dalam konstitusi; sebutlah seperti yang ada Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika Selatan, Pasal 181 ayat (1) UUD-nya menyebutkan ada Human Rights Commission; Commission for the Promotion and Protection of the Rights of Cultural, Religious and Linguistic Communities; Commission for Gender Equality; dan Electoral Commission. Di Thailand, Pasal 75 konstitusinya mengatur bahwa negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi negara independen seperti: Election Commission, Ombudsmen, National Human Rights Commission, National Counter Corruption Commission dan State Audit Commission.
Namun, itu bukan berarti bahwa semua komisi negara independen pastilah diatur dalam konstitusi. Misalnya, ada sekitar 15 komisi negara independen di Amerika Serikat, antara lain: Federal Communication Commission, Securities and Exchange Commission, Federal Trade Commission, National Labour Relations Board, Nuclear Regulatory Commission dan Federal Reserved Board. komisi negara independen berbeda dengan komisi negara biasa (state commissions). Menurut Michael R. Asimow, komisi negara biasa hanyalah bagian dari eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.
Lebih jauh, mengutip keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Humprey’s Executor v. United States, Asimow berpendapat bahwa yang dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, karena jelas-tegas merupakan bagian dari eksekutif. Hampir serupa, William F. Fox Jr. Berargumen bahwa suatu komisi negara adalah independen bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan. Atau, bila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.
Selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi presiden, Funk dan Seamon menambahkan bahwa sifat independen juga tercermin dari: (1) kepemimpinan yang kolektif, bukan seorang pimpinan; (2) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms).
B. Komisi Negara di Indonesia
Sesuai dengan definisi komisi negara independen di atas, di Indonesia saat ini ada 13 independent regulatory agencies. Komisi-komisi tersebut, lengkap dengan dasar hukum pembentukannya adalah:
No. | Komisi | Dasar Hukum |
1. | Komisi Yudisial | Pasal 24B UUD 1945 & UU No. 22/2004 |
2. | Komisi Pemilihan Umum | Pasal 22E UUD 1945 & UU No. 12/ 2003 |
3. | Komisi Nasional Hak Asasi Manusia | Keppres 48/2001 – UU No. 39/1999 |
4. | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan | Keppres No. 181/1998 |
5. | Komisi Pengawas Persaingan Usaha | UU No. 5/1999 |
6. | Komisi Ombudsman Nasional | Keppres No. 44/2000 |
7. | Komisi Penyiaran Indonesia | UU No. 32/2002 |
8. | Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) | UU No. 30/2002 |
9. | Komisi Perlindungan Anak | UU No 23/2002 & Keppres No. 77/2003 |
10. | Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi | UU No. 27/2004 |
11. | Dewan Pers | UU No. 40/1999 |
12. | Dewan Pendidikan | UU No. 20/2003 |
13. | Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan | Keppres No. 81/2003 |
Sumber: Diolah dari Kompas, 30 April 2005 dan Meneg PAN.
Sebelumnya, ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang juga independen serta dibentuk berdasarkan UU No. 28/1999 dan Keppres No. 127/1999. Namun, setelah berdirinya KPK, KPKPN dilikuidasi. Meski keputusan untuk membubarkan KPKPN tersebut cenderung kental dengan nuansa balas dendam anggota DPR yang merasa terganggu dengan ’galaknya’ kerja KPKPN; namun, harus diakui, penyatuan KPKPN ke dalam KPK adalah langkah efisiensi yang cukup tepat.
Berbalikan dengan KPKPN yang sudah ’almarhum’, beberapa rancangan undang-undang justru mengindikasikan akan lahirnya beberapa Komisi Negara Independen baru. RUU demikian adalah RUU Perlindungan Saksi yang merencanakan pembentukan Komisi Perlindungan Saksi dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang merencanakan terbentuknya Komisi Informasi.
Selain komisi negara independen, ada beberapa lembaga lain, namun bertanggung jawab kepada Presiden – atau merupakan bagian dari eksekutif – sehingga merupakan komisi negara eksekutif (executive branch agencies). Komisi atau lembaga negara itu, beserta dasar hukumnya, yang menyebutkan ia berada di bawah atau bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri, adalah:
No. | Komisi | Dasar Hukum |
1. | Komisi Hukum Nasional | Keppres No. 15/2000 |
2. | Komisi Kepolisian | UU No. 2/2002 |
3. | Komisi Kejaksaan | UU No. 16/2004 dan Perpres No. 18/2005 |
4. | Dewan Pembina Industri Strategis | Keppres No. 40/1999 |
5 | Dewan Riset Nasional | Keppres No. 94/1999 |
6 | Dewan Buku Nasional | Keppres No. 110/1999 |
7. | Dewan Maritim Indonesia | Keppres No. 161/1999 |
8. | Dewan Ekonomi Nasional | Keppres No. 144/1999 |
9. | Dewan Pengembangan Usaha Nasional | Keppres No. 165/1999 |
10. | Komite Nasional Keselamatan Transportasi | UU No. 41/1999 & Keppres No. 105/1999 |
11. | Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan | Keppres No. 80/2000 |
12. | Komite Akreditasi Nasional | Keppres No. 78/2001 |
13. | Komite Penilaian Independen | Keppres No. 99/1999 |
14. | Komite Olahraga Nasional Indonesia | Keppres No. 72/2001 |
15. | Komite Kebijakan Sektor Keuangan | Keppres No. 89/1999 |
16. | Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran | PP No. 102/2000 |
17. | Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak | Keppres No. 12/2000 |
18. | Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan | Keppres No. 54/2005 |
19. | Dewan Gula Nasional | Keppres No. 23/2003 |
20. | Dewan Ketahanan Pangan | Keppres No 132/2001 |
21. | Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia | Keppres No. 44/2002 |
22. | Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah | Keppres No. 151/2000 |
23. | Dewan Pertahanan Nasional | UU No. 3/2003 |
24. | Badan Narkotika Nasional | Keppres No. 17/2002 |
25. | Bakornas Penanggulangan Bencana & Pengungsi | Keppres No. 3/2001 jo. Keppres 111/2001 |
26. | Badan Pengembangan Kapet | Keppres No. 150/2002 |
27. | Bakor Pengembangan TKI | Keppres No. 29/1999 |
28. | Badan Pengelola Gelora Bung Karno | Keppres No. 72/1999 |
29. | Badan Pengelola Kawasan Kemayoran | Keppres No. 73/1999 |
30. | Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Propinsi NAD dan Kep. Nias Sumatera Utara | Perpu No. 2/2005 |
31. | Badan Nasional Sertifikasi Profesi | PP No. 23/2004 |
32. | Badan Pengatur Jalan Tol | PP No. 15/2005 |
33. | Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum | PP No. 16/2005 |
34. | Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat | Keppres No. 83/1999 |
35. | Lembaga Sensor Film | PP No. 8/1994 |
36. | Korsil Kedokteran Indonesia | UU No. 29/2004 |
37. | Badan Pengelola Puspiptek | Keppres No. 43/1976 |
38. | Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara | Keppres No. 85/1999 |
39. | Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional | Keppres Keppres No. 132/1998 |
40. | Lembaga Non Departemen (24 lembaga) | Keppres No. 3/2002 perubahan Keppres No. 103/2001 |
Sumber: Diolah dari Kompas, 30 April 2005 dan Meneg PAN.
Di samping 40 komisi negara eksekutif di atas, masih ada satu lembaga penasihat presiden yang amanatnya diatur dalam Pasal 16 UUD 1945. Inilah lembaga yang menjadi pengganti dari Dewan Pertimbangan Agung, dengan kedudukan yang lebih rendah, karena tidak lagi merupakan lembaga negara tersendiri, tetapi hanya merupakan bagian dari lembaga kepresidenan.
C. EVALUASI KOMISI NEGARA
Evaluasi atas komisi negara di tanah air paling tidak perlu menyoroti tiga hal, yaitu: (1) problema eksistensinya yang mulai menginflasi; (2) efektifitas fungsi; (3) serta urgensi restrukturisasi komisi negara tersebut.
Dari tabel di atas jelaslah bahwa dari 13 komisi negara independen dan 40 komisi negara di lingkungan eksekutif – atau total 53 lembaga, hanya 2 lembaga saja yang telah ada sebelum era reformasi, atau sebelum mundurnya Soeharto di tahun 1998, yaitu: Badan Pengelola Puspiptek (1976) dan Lembaga Sensor Film (1994). Selebihnya, 51 negara atau 96,2% adalah lembaga baru pasca Orde Baru.
Nyatalah bahwa Indonesia tidak imun dari kecenderungan global, yaitu mendirikan lembaga baru di masa transisi pasca pemerintahan otoriter. Salah satu penyebab utamanya adalah lunturnya kepercayaan publik atas lembaga negara konvensional. Ketidakpercayaan publik (public distrust) itu mendorong hadirnya komisi negara yang diidamkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya. Pengalaman Amerika Serikat menegaskan relasi antara doktrin kepercayaan publik (public trust doctrine) dengan hadirnya lembaga-lembaga negara federal.
Di tanah air, ketidakpercayaan terhadap pelayanan pejabat negara melahirkan Komisi Ombudsman Nasional; ketidakyakinan terhadap penanganan masalah HAM, menghadirkan Komnas HAM. Di dunia peradilan ketidakpercayaan pada para hakim yang kabarnya kebanyakan korup memunculkan Komisi Yudisial; perilaku aparat kejaksaan yang menyimpang, memicu kelahiran Komisi Kejaksaan; tingkah-polah polisi yang menjadi penikmat mafia peradilan, merangsang kehadiran Komisi Kepolisian.
Inflasi Komisi. Sayangnya, di “negeri kampung maling” ini, menjamurnya komisi negara tidak berbanding lurus dengan berkurangnya problem kebangsaan. Justru Indonesia mulai memasuki masa inflasi komisi negara, yaitu titik jenuh yang justru dapat mereduksi urgensi eksistensi komisi itu sendiri. Telah lahir komisi negara baru yang fungsi dan perannya cenderung tidak jelas atau tumpang-tindih satu sama lain.
Ketidakjelasan komisi negara di Indonesia terutama karena ketiadaan konsep ketatanegaraan yang komprehensif tentang apa dan bagaimana sebaiknya komisi negara. Komisi hanya lahir sebagai kebijakan yang reaktif-responsif, bukanlah preventif-solutif terhadap masalah kebangsaan. Terkadang, komisi cenderung dibentuk karena penguasa melihatnya sebagai suatu kebijakan yang populis, sehingga jika didukung akan menaikkan pamor politik sang penguasa. Akibatnya, kelahiran komisi negara hanyalah manipulasi dan dagangan elit politik semata, menjauh dari tujuan luhurnya guna membentuk sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis, modern dan anti-korupsi.
Salah satu bukti absennya konsep komisi negara yang menyeluruh dan terencana adalah berbeda-bedanya dasar hukum kehadiran komisi negara tersebut (lihat tabel di atas). Ada yang hadir berdasarkan amanat Undang-undang Dasar, namun tidak sedikit pula yang lahir hanya berlandaskan keputusan atau peraturan presiden, bahkan senyatanya dua format terakhir inilah yang paling banyak digunakan. Perbedaan dasar hukum itu tidak hanya menunjukkan nihilnya koordinasi perencanaan pembentukan komisi negara, tetapi lebih jauh mengakibatkan berbedanya tingkat kewibawaan komisi tersebut.
Bentuk minimnya komitmen elit politik pada pembentukan komisi makin tercermin dengan tidak adanya jaminan finansial bagi hidupnya komisi negara. Tidak sedikit komisi yang hidup enggan mati tak mau; menunggak tagihan-tagihan telepon dan listrik; hingga ujungnya ada yang mengusulkan lebih baik dibubarkan saja (Kompas, 28 Januari 2004). Kemiskinan infrastruktur komisi tersebut amat bertolak belakang dengan sangat beratnya beban kerja komisi – khususnya bagi komisi negara independen – untuk mendorong terciptanya sistem bernegara yang transparan, akuntabel dan bersih dari korupsi-korupsi kekuasaan.
Efektifitas Fungsi. Dengan berbagai permasalahan konseptual, legal hingga finansial di atas, menjadi teramat wajar kalau kemudian komisi negara hanya menjadi macan kertas yang ompong. Hanya tampilannya yang sangar tetapi kenyataannya tidak mempunyai gigi untuk menggigit. Komnas HAM hanya menjadi lembaga yang kaya rekomendasi tetapi mandul dalam mengurangi pelanggaran HAM di tanah air; Komisi Ombudsman Nasional sibuk mengeluarkan rekomendasi anti-mafia peradilan, tetapi tetap belum efektif menciptakan peradilan yang anti praktik jual-beli keadilan. Dari 2.443 kasus pengaduan yang ditangani Komisi Ombudsman Nasional sejak Maret 2000 hingga Maret 2005, misalnya, 48 persen tidak ditanggapi oleh lembaga yang diadukan; Komisi Hukum Nasional mengklaim banyak melakukan kerja nyata reformasi hukum, tetapi realita hukum Indonesia tetap saja korup sepanjang masa keberadaannya.
Nyatalah, keberadaan komisi-komisi yang menjamur tersebut tentu harus segera ditata guna secara jelas dan tegas mendorong demokratisasi di tanah air. Revitalisasi komisi-komisi tersebut penting agar mereka tidak hanya menjadi lembaga negara yang muncul responsif, sesaat dan akhirnya hilang ditelan zaman, karena pelaksanaan fungsinya tidak maksimal. Sejarah ketatanegaraan kita sudah membuktikan, bahkan lembaga negara yang keberadaannya dijamin konstitusi sekalipun, Dewan Pertimbangan Agung, akhirnya dilikuidasi karena dirasa tidak memberikan sumbangan yang berarti dalam menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan efektif. Hal yang serupa akan amat mungkin terjadi pada komisi-komisi negara yang kini ada dan terus bermunculan.
Restrukturisasi. Perlu segera disusun blueprint lembaga negara, khususnya bagi institusi-instusi yang aturannya berada di luar konstitusi. Di dalam blueprint tersebut perlu ditegaskan bahwa komisi negara yang sebaiknya dipertahankan hanyalah komisi-komisi yang mempertegas dan memperkokoh bangunan negara hukum, yaitu komisi yang mendorong dan menjaga: (1) sistem peradilan yang independen dan berintegritas, bersih dari praktik mafia peradilan; (2) perlindungan hak asasi manusia; (3) kebebasan pers; dan (4) pemilihan umum yang jujur dan adil.
Acuan kedua bagi restrukturisasi komisi adalah urgensinya untuk menguatkan konsep separation of powers dalam kehidupan bernegara. Di Amerika Serikat berkembang doktrin pendelegasian kekuasaan (delegation doctrine) sebagai dasar konstitusional bagi pemisahan kekuasaan untuk komisi negara di luar lembaga-lembaga negara konvensional. Inilah jawaban atas realitas makin kompleksnya permasalahan ketatanegaan modern. Model pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) konvensional yang hanya mengasumsikan adanya tiga cabang kekuasaan di suatu negara – eksekutif, legislatif dan yudikatif – sudah tidak lagi menjawab kompleksitas negara modern. Karena itu diperlukan independent regulatory agencies untuk melengkapi institusi ketatanegaraan modern, dengan model relasi saling imbang-saling kontrol yang lebih lengkap di antara lembaga-lembaga negara (state organs). Ackerman berpendapat:
… the American system contains (at least) five branches: House, Senate, President, Court, and independent agencies such as the Federal Reserve Board. Complexity is compounded by the bewildering institutional dynamics of the American federal system. The crucial question is not complexity, but whether we Americans are separating power for the right reasons. (cetak tebal oleh penulis).
Berdasarkan parameter parameter 4 syarat dasar negara hukum serta konsep pemisahan kekuasaan modern demikian, maka komisi negara yang patut dipertahankan adalah:
1. Komisi Yudisial; namun dengan perluasan tidak hanya kepada hakim tetapi kepada semua aparatur hukum. Artinya KY tidak hanya mengawasi hakim namun juga polisi dan jaksa. Dengan demikian Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan tidak diperlukan lagi, tetapi hanya akan menjadi bagian dari KY. Ada baiknya, KY dijadikan institusi yang fokus bagi administrasi peradilan. Masalah rekrutmen, promosi, mutasi hingga pemberian sanksi bagi para aparat hukum adalah wilayah kerja KY yang patut dipertimbangkan.
2. Komisi Ombudsman; lembaga ini diperlukan untuk mengawal agenda good governance.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi; lembaga ini penting untuk terus menjaga Indonesia yang bebas dari korupsi melalui upaya pencegahan dan penindakan hukum.
4. Komisi Nasional HAM; yang mempunyai divisi kerja perlindungan anak dan perempuan. Artinya Komisi Perlindungan Anak serta Komnas HAM Perempuan sebaiknya tidak lagi menjadi lembaga tersendiri.
5. Komisi Pers Indonesia; lembaga ini merupakan peleburan Dewan Pers Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia yang penting untuk menjaga prinsip kebebasan pers yang.
6. Komisi Pemilihan Umum; lembaga ini strategis untuk mengawal pemilihan umum yang luber dan jurdil bagi hadirnya sistem ketatanegaraan yang akuntabel.
Organ Konstitusi. Belajar dari Afrika Selatan dan Thailand, yang mencantumkan komisi negara itu menjadi organ konstitusi, seharusnya dasar hukum bagi komisi negara di atas lebih dikuatkan. Penguatan itu penting, misalnya, sebagai bentuk komitmen tegas pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komnas HAM dinaikkan status dasar hukumnya ke tingkat konstitusi. Jaminan konstitusional itu tidak hanya menambah amunisi kehidupan bagi kedua komisi negara itu, tetapi sekaligus menjadi signal yang kuat bagi peperangan melawan korupsi dan para penjahat HAM di tanah air.
Pengangkatan derajat beberapa komisi menjadi organ konstitusi juga strategis untuk mengantisipasi kemungkinan konflik. Dengan posisi sebagai organ konstitusi, komisi negara independen akan mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi.
Komisi Biasa. Di samping menjadi organ konstitusi, untuk lembaga-lembaga ad hoc atau penunjang semata, beberapa komisi dapat dibentuk cukup berdasarkan undang-undang. Misalnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah lembaga yang dibutuhkan dalam konsteks transitional justice. Karena karakteristiknya, komisi ini tidak perlu menjadi lembaga permanen. Lebih jauh, fungsi selanjutnya dari lembaga ini dapat dilekatkan pada Departemen Hukum dan HAM, ketika kehadirannya sebagai institusi tersendiri dirasakan sudah cukup.
Yang lain, Komisi Perlindungan Saksi adalah institusi, yang dibentuk dengan dasar undang-undang. Tetapi karenanya yang hanya penunjang, lembaga ini cukup dijadikan institusi yang berada di dalam ranah eksekutif. Kehadiran komisi ini penting sebagai pelengkap instrumen perang melawan korupsi. Tanpa perlindungan saksi (witness protection) upaya-upaya memberantas pidana modern semacam korupsi, teror, narkoba dan sejenisnya akan amat sulit dilakukan.
Likuidasi. Komisi-komisi negara lain di luar penegasan konsep negara hukum dan fungsi transitional justice di atas, sebaiknya dilikuidasi. Pelikuidasian perlu dilakukan karena alasan strategis, teknis dan politis. Secara strategis tidak jarang keberadaan suatu komisi negara hanya menambah panjang rantai birokrasi dan tumpang tindih dengan fungsi-fungsi lembaga negara yang lain. Secara teknis, banyaknya komisi negara yang tumpang tindih tersebut melahirkan sistem pemerintahan yang tidak efisien dan cenderung menghamburkan uang negara semata. Secara politis, banyaknya komisi negara cenderung hanya menjadi sarana antar partai politik untuk berbagi kursi kekuasaan bahkan meski seringkali mengorbankan efisiensi pemerintahan negara.
Berkait dengan efisiensi ini komisi negara yang berada di bawah presiden harus ditimbang lagi urgensinya. Komisi Hukum Nasional misalnya sebaiknya ditiadakan dan fungsinya cukup dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman. Demikian pula dengan komisi/lembaga/dewan/badan yang lainnya, misalnya Dewan Pendidikan dikembalikan fungsinya kepada Departemen Pendidikan Nasional. Intinya, semua komisi/lembaga/dewan/badan dinilai apakah masih diperlukan atau cukup dilaksanakan oleh departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.
Audit. Pada fase memutuskan lembaga mana yang patut dilikuidasi (dihilangkan) atau dimerger (digabungkan) itulah fungsi audit kinerja kelembagaan dan audit keuangan yang profesional menjadi amat penting. Audit kinerja kelembagaan strategis untuk menentukan apakah suatu komisi memang sebaiknya terus eksis. Audit keuangan juga sangat penting untuk menilai akuntabilitas dan moralitas orang-orang yang bertugas di dalam menjalankan putaran roda kerja komisi. Jikalau audit kinerja kelembagaan menunjukkan eksistensi komisi justru merugikan, maka sewajibnya komisi dilikuidasi. Sama halnya, jikalau audit finansial menunjukkan anggota komisi tidak memegang sumpah-janji anti-korupsi, maka yang bersangkutan harus siap menerima sanksi untuk dibui sampai mati.
D. TANTANGAN KOMISI NEGARA
Setelah proses restrukturisasi komisi dilakukan dengan blueprint mengacu pada prinsip dasar negara hukum dan konsep modern pemisahan kekuasaan, maka paling tidak ada 2 tantangan utama bagi komisi negara yang ke masa depan wajib diantisipasi: efektifitas fungsi; dan problema relasi antara lembaga negara.
Efektifitas Fungsi. Restrukturisasi dan revitalisasi komisi negara seharusnya diiringi dengan meningkatnya efektifitas kerja komisi. Khususnya bagi komisi negara independen, kemandirian itu harus tercermin dalam bentuk fungsi yang tidak sebatas dapat memberikan rekomendasi, namun lebih jauh sebaiknya dapat menjatuhkan sanksi.
Karena, patut dipahami bahwa antara prinsip independensi dengan fungsi rekomendasi adalah dua hal yang tidak sejalan. Bagaimana mungkin lembaga independen hanya berwenang memberi rekomendasi, yang tentunya dapat dijalankan atau tidak oleh lembaga penerima rekomendasi. Bukankah kalau suatu rekomendasi tidak dijalankan itu berarti independensi fungsi dari komisi yang bersangkutan tercederai?
Karenanya, menjadi wajib seharusnya untuk memberikan kewenangan eksekusi sanksi kepada Komisi Yudisial, misalnya. Terlebih konstitusi sendiri secara tegas mengamanatkan bahwa KY berwenang ”menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Kata ”menegakkan” seharusnya diikuti dengan konsep kewenangan yang konsisten yaitu: kekuatan eksekusi, bukan hanya rekomendasi. Rekomendasi selain tidak sesuai dengan kata ”menegakkan” juga bertentangan dengan konsep independennya Komisi Yudisial. Karena rekomendasi akan dengan mudah diabaikan, yang berarti ada intervensi – meski tidak langsung, dari lembaga penerima rekomendasi terhadap kemandirian Komisi Yudisial.
Problema Relasi: Kasus MA – KY
Selain masalah efektifitas fungsi, tantangan komisi negara ke depan adalah relasinya dengan lembaga negara lainnya. Relasi MA dan KY, yang relatif terus bermasalah beberapa waktu terakhir adalah contoh konkrit tantangan relasi institusional tersebut.
KY dan MA seharusnya bersekutu ataukah berseteru? Itulah pertanyaan yang muncul akhir-akhir ini melihat terus meruncingnya relasi antara kedua lembaga tersebut, serta upaya-upaya perdamaian yang kemudian diupayakan berbagai pihak. Idealnya keduanya bersekutu untuk melawan mafia peradilan. KY dan MA berkoalisi untuk menggempur praktik judicial corruption. Tetapi itu adalah relasi ideal yang mengandaikan semua hakim di MA bersih dari praktik menyimpang. Padahal pada kenyataannya sulit membayangkan bahwa semua hakim-hakim di MA tidak terkontaminasi praktek judicial corruption.
Secara kelembagaan, memang hubungan KY dan MA sebaiknya tidak selalu berkonflik. Namun, bukan berarti KY tidak dapat menjatuhkan sanksi kepada hakim nakal. Artinya, teritori konflik harus dipindahkan dari wilayah institusional ke ranah personal. Tetapi kerjasama kelembagaan tersebut mensyaratkan – antara lain – kepemimpinan di kedua lembaga mempunyai satu visi yang sama untuk membumihanguskan praktik mafia peradilan. Pada tingkat inilah kesungguhan dan progresifitas pimpinan MA – yang kembali dipimpin oleh Bagir Manan – kembali diuji untuk dapat menyamai langkah cepat pembenahan dunia kehakiman yang sedang semangat-semangatnya disuarakan pimpinan KY. Tanpa kesamaan visi pemberantasan judicial corruption, konflik antara KY dan MA akan terus bernuansa institusional. Karena pimpinan MA akan berupaya untuk selalu menarik konflik personalnya dengan KY menjadi persoalan institusional.
Pada dasarnya ada tiga jenis relasi antara lembaga negara, termasuk pula kemungkinan relasi KY dan MA, yaitu: konstruktif, kolutif dan konfrontatif. Relasi yang konstruktif adalah hubungan yang berjalan di atas kesepahaman untuk saling kontrol dan saling imbang (checks and balances) guna menciptakan peradilan yang lebih bersih dan berwibawa. Relasi yang kolutif menunjukkan bahwa KY tidak berfungsi sebagai lembaga pengawas hakim, melainkan hanya menjadi pemberi stempel bersih kepada apapun keputusan para hakim. Hubungan yang kolutif ini kemungkinan terjadi jika KY sendiri sudah pula terkontaminasi penyakit kotor mafia peradilan. Relasi ketiga, konfrontatif, adalah hubungan KY dan MA yang selalu berseteru.
Untuk membayangkan betapa merusaknya relasi KY dan MA yang kolutif dan konfrontatif maka bisa dianalogkan hubungan keduanya dengan relasi Presiden dengan DPR. Hubungan presiden dengan DPR yang terlalu mesra akan menghadirkan relasi yang kolutif dan menyebabkan DPR tidak akan kritis. Fungsi pengawasan DPR menjadi mandul dan setiap kebijakan pemerintah yang keliru sekalipun akan mendapatkan permakluman dan persetujuan DPR. Hubungan kolutif demikian amat nyata terjadi di masa kepresidenan Soeharto.
Sama merusaknya dengan relasi yang kolutif, hubungan yang konfrontatif juga akan menyebabkan kehidupan bernegara akan terus berkonflik dan terganggu. Pengalaman di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan bagaimana konfrontasi di antara presiden dengan parlemen yang berlangsung terus-menerus telah melahirkan kelelahan serta kejenuhan politik yang luar biasa.
Sama halnya dengan relasi Presiden dengan DPR, hubungan KY dan MA adalah hubungan saling kontrol saling imbang yang sebaiknya konstruktif. Itu artinya, konfrontasi institusional berkepanjangan yang sekarang terjadi harus segera diakhiri. KY dan MA memang harus duduk untuk menyusun agenda kerja bersama melawan mafia peradilan. Agenda itu dapat berupa memorandum of understanding yang menjelaskan standard operating procedures (SOP) bagaimana seharusnya proses pemeriksaan hakim; apakah putusan dapat menjadi obyek pemeriksaan oleh KY; dan seterusnya.
Kontrol. Di sisi lain, paralel dengan penguatan kehidupan komisi negara, harus juga diiringi dengan pemaksimalan pengawasan terhadap kerja komisi tersebut. Prinsip bahwa komisi negara adalah lembaga yang independen bukan berarti anggota-anggotanya steril dari sanksi hukum. Konsep kemandirian hanya bersifat institusional, tetapi tidaklah personal. Artinya, hanya institusilah yang tidak dapat diintervensi kewenangannya, tetapi anggota-anggota komisi wajib untuk dijatuhi sanksi jikalau melakukan kejahatan kemanusiaan, misalnya korupsi. Hal tersebut sejalan dengan praktek di Amerika Serikat yang kontrol terhadap independent regulatory agencies dilakukan melalui mekanisme rekrutmen dan pemberhentian pimpinan komisi, tentu dengan tetap memperhatikan aturan yang ada di peraturan perundangan terkait.
PENUTUP
Komisi negara independen (independent regulatory agencies) atau komisi eksekutif (executive branch agencies) memang menjamur di masa transisi Indonesia pasca rezim otoriter Soeharto. Komisi demikian harus direstrukturisasi, dirampingkan dan direvitalisasi, antara lain dengan menjadikannya sebagai organ konstitusi (constitutional organ). Revitalisasi komisi harus diikuti dengan meningkatkan efektifitas fungsi komisi untuk tidak hanya sebagai pemberi rekomendasi; serta menata relasinya dengan lembaga negara lain untuk menegaskan cita negara hukum serta prinsip modern separation of powers dan konsep dasar saling kontrol-saling imbang. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Dosen hukum tata negara, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM dan Direktur Indonesian Court Monitoring,