DALAM beberapa waktu terakhir, pemberantasan tindak pidana terorisme di
Rasanya, baru di dalam bidang ini Polri mendapat pujian yang sedemikian besar, sehingga tak heran dengan melekatnya image professional terhadap densus 88 ini, masyarakat menjadi lebih “tertarik” untuk membantu aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menegakkan hukum.
Sayangnya, seiring perjalanan waktu, mulai muncul kecenderungan-kecenderungan negative perang melawan terorisme yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Beberapa tindakan yang pernah diambil dalam mengungkap, memproses dan menangkap beberapa pelaku terorisme dianggap melampaui batas-batas kewajaran, cenderung melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Diambil paksanya Abu Bakar Basyir di Rumah Sakit, Penahanan Istri Nurdin M Top karena dituduh menyembunyikan suaminya, merupakan dua kisah yang penuh kontroversi. Selanjutnya, sekarang ini muncul kasus penembakan terhadap Abu Dujana yang dilakukan dalam keadaan menyerah, dan didepan anak-anak-Nya. Benar Polri harus bertindak tegas dalam menegakkan hukum. Benar pula masyarakat mengecam tindakan-tindakan teroris dan mendukung secara penuh upaya-upaya aparat kepolisian dalam menangkap para pelaku terorisme.
Tetapi merupakan suatu hal yang tidak benar dilakukan, apabila dalam penegakan hukum terhadap teroris tindakan yang dilakukan juga melanggar hukum itu sendiri. Terlebih belum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa tersangka bersalah secara hukum.
Terroris dan HAM
Sesungguhnya perang melawan terorisme telah merusak tatanan hukum, baik itu secara nasional maupun secara internasional. Karena kampanye perang melawan terorisme didasarkan kepada suatu dasar hukum yang sangat elastis dan potensial melanggar hak asasi manusia. Terhadap persoalan ini, Wakil Khusus Sekjen PBB untuk urusan HAM secara tegas mengatakan bahwa “Ia sangat mengkhawatirkan pelanggaran HAM terhadap Negara-negara yang membuat undang-undang anti terorisme seperti Inggris, Australia, dan Indonesia. Apalagi sampai saat ini definisi terorisme masih belum disepakati secara bersama.
Sekarang ini, diseluruh belahan dunia, tengah terjadi titik balik perang terhadap terorisme. Bahkan di Amerika, Negara yang mengkampanyekan perang melawan terorisme secara arogan mendapatkan tentangan dari masyarakatnya sendiri. Tindakan-tindakan yang ditandai dengan penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detentions), pelanggaran terhadap due process law, dan penahanan secara rahasia (secret arrest) mendapatkan “perlawanan” sedemikian rupa, dimana polarisasi “perlawanan” tersebut semakin hari semakin kuat.
Ini tentunya merupakan sebuah hal yang sangat menarik untuk dipertanyakan. Kenapa muncul perlawanan-perlawanan demikian? Menjawab pertanyaan seperti ini tentu tidaklah mudah. kendatipun demikian, menarik mencermati pendapat salah seorang analisis militer terkemuka bernama Cohen. Yang menyatakan bahwa perang melawan terorisme merupakan suatu bentuk persaingan yang berkaitan dengan masalah-masalah politis dan agama, bukan berkenaan dengan penjahat. (T.R. Nitibaskara: 2006.hal 171).
Dari titik ini, dapat disimpulkan bahwa munculnya perlawanan terhadap perang terhadap terorisme yang dilakukan oleh Amerika lebih disebapkan bahwa perang ini pada dasarnya merupakan perang bermotifkan politis dan agama, dengan “menu utama” pelecehan terhadap hukum internasional dan pelanggaran HAM terhadap orang yang bukan penjahat, sehingga tidak menyentuh sama sekali persoalan kebijakan criminal terhadap para pelaku terorisme itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan tindakan negative yang dilakukan oleh aparat Densus 88, hal yang paling penting dilakukan adalah tetap memproses kasus ini secara proporsional mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, penembakan yang dilakukan harus diusut secara hukum demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan hukum.
Hal ini penting dilakukan agar persoalan penembakan ini tidak menjadi “bola liar” bagi proses penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana terorisme. Karena harus di pahami bersama, bahwa tidak ada satupun ketentuan hukum yang membenarkan tindakan aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum secara sewenang-wenang. Terlebih jika kita melihat rumusan pasal pasal 28 point D dan point 28 I Undang-undang dasar 1945, yang secara implicit menyatakan bahwa hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam kaitan ini, perlu ditegaskan bahwa tidak ada relevansi antara penegakan hukum terhadap tersangka pelaku tindak pidana terorisme dengan tindakan penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat densus 88. Sederhananya, penegakan hukum terhadap Abu Dujana tetap harus dilakukan. Sementara terhadap pelaku penembakan harus pula diusut secara tuntas, meskipun hal tersebut harus dilakukan terhadap aparat penegak hukum yang berhasil menangkap tersangka pelaku tindak pidana.
Kedepan, dengan adanya kejadian ini, diharapkan aparat kepolisian, khususnya Densus 88 mampu menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya secara professional, dengan mengedepankan Keahlian (expertise), rasa tanggung jawab (responsibility) dan kinerja terpadu (corporateness). Sehingga tidak lagi melakukan tindakan-tindakan kontra-produktif dalam menangani kasus-kasus terorisme, apalagi melakukan teror teroris….
Lucky Raspati