Saturday, July 12, 2008

Setelah Urip, KPK Usut BLBI!


Pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supanji yang berjanji akan membuka kembali penyelidikan kasus BLBI II, jika menemukan indikasi suap yang diterima Urip berkitan dengan penghentian penyelidikan menunjukkan bahwa pihak Kejaksaan Agung masih “ngotot” kasus BLBI bukanlah suatu kejahatan menurut hokum pidana korupsi.

Pernyataan ini patut disesalkan, bukan hanya karena janji ini konsisten dengan logika yang ingin dibangun oleh Kejaksaan bahwa dihentikannya kasus BLBI dikarenakan tidak ditemukannya unsur melawan hokum, tetapi juga bertendensi menolak keinginan masyarakat agar KPK mengambil alih kasus ini.

Gagal Sejak Awal?

Korupsi dana BLBI dinilai sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula. Terbukti, Kejaksaan yang selama ini diharapkan dapat menangani BLBI, dibuat tidak berdaya dalam proses penangannya.

Ketidakberdayaan ini boleh jadi disebapkan oleh banyak factor, antara lain mengendurnya kehalian, rasa tanggungjawab dan kerjasama terpadu diantara jaksa-jaksa yang tergabung dalam team BLBI. Lebih lanjut, patut diduga hal ini bisa terjadi karena sejak awalnya pimpinan team BLBI telah diboncengi kepentingan korupsi itu sendiri. Apapun kilahnya, tertangkapnya urip memperkuat dugaan bahwa kasus ini tidak dilanjutkan karena adanya deal 6 milyar.

Kewenangan KPK

Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, adalah fakta. oleh sebab itu dilahirkanlah KPK melalui UU No 30 Tahun 2002. Pertanyaannya sekarang, bisakah KPK mengusut kasus korupsi BLBI? Pertanyaan ini penting dimunculkan, mengingat dengan kelambanan yang ditunjukkan oleh Kejaksaan dalam mengusut korupsi BLBI menimbulkan kekhawatiran kasus ini akan gugur secara hokum karna terlampauinya daluarsa penuntutan.

Tertangkapnya Jaksa Urip oleh KPK sesungguhnya merupakan blessing in disguise dalam konteks menuntaskan kasus hokum BLBI secara menyeluruh. Dengan tertangkapnya Urip, telah secara otomatis mendelegasikan kewenangan penyelidikan, penyelidikan dan penuntutan dari Kejaksaan Agung kepada KPK.

Berdasarkan dakwaan Jaksa KPK terhadap Artalyta Suryani, terungkap penyerahan uang AS$660 ribu kepada Urip erat kaitannya dengan kasus penyimpangan dana BLBI yang melibatkan taipan Sjamsul Nursalim, eks pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) -bank penerima BLBI senilai Rp28,4 triliun yang kini sudah dilikuidasi (hukumonline/ 22/5/08).

Apabila dakwaan ini terbukti nantinya, maka secara legalitas KPK berwenang mengusut kasus BLBI. Hal ini didasarkan atas mandat pasal 9 huruf c dan Pasal 68 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK , yang berbunyi :

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

Selanjutnya , Pasal 68 menyatakan : Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Terhadap pasal 68 tersebut, harus ditegaskan kasus BLBI belum usai, adanya penghentian penyelidikan oleh Kejaksaan Agung terhadap kasus Sjamsul Nursalim bukanlah dalam artian kasus ini telah tuntas diproses secara hokum oleh Kejaksaan Agung, tetapi lebih karena adanya ketidakmampuan Kejaksaan Agung menuntaskan kasus ini secara professional. Dengan kata lain, sehinga proses hukumnya masih tetap berjalan.

Pelanggaran Asas Non Retroaktif ?

Sejauh dapat di cermati, keragu-raguan KPK dalam mengambil alih kasus BLBI didasarkan atas ketakutan KPK dituduh melanggar asas non retroaktif yang berlaku dalam hokum pidana. Untuk menepis keraguan tersebut, kiranya perlu dijelaskan substansi dan sejarah lahirnya ketentuan non retroaktif yang diakui secara universal dalam hokum pidana, sehingga dapat secara jelas diketahi substansi dan peruntukan asas tersebut.

Secara normatif, substansi asas non retroaktif sebagai yang terkandung pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut, apabila kita melihat aturan main asas ini, dapat ditemukan dalam Pasal 12 Piagam HAM (UDHR) PBB, yang membatasi bahwa pemberlakuan surut suatu perundang-undangan (ex post facto law) tidak diperkenankan apabila hal tersebut : Pertama, menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; Kedua, menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan

Dari persfektif sejarah, lahirnya asas non retroaktif ini dilatar belakangi oleh kesewenang-wenangan Raja-Raja pada masa Romawi dalam mempergunakan istrumen yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Atas kondisi ini, kemudian dimunculkanlah asas legalitas, dimana salah satu elemennya non retroaktif tersebut. Dengan dilahirkannya asas ini, maka timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana, terhadap penggunaan hokum pidana, yang kelak memberikan sanksi kepada seseorang

Dari titik ini, secara tegas dan jelas dapat dikatakan, bahwa pemberlakuan surut suatu ketentuan perundang-undangan tidak diperbolehkan hanya dalam ranah hokum pidana materil, bukan dalam hokum pidana formil. Hal ini dapat dibuktikan dari rumusan frasa ; suatu perbuatan, perbuatan yang dapat dipidana, pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan sebagai bagian inti dari ketentuan pasal 12 Piagam HAM (UDHR) PBB, yang pada hakekatnya menunjuk suatu perbuatan yang diancam pidana.

Dengan demikian tidak ada alasan untuk menggugat kewenangan KPK mengusut kasus BLBI, apalagi jika gugatan tersebut didasarkan kepada asas non retroaktif yang berlaku dalam hokum pidana. Karena secara factual, perbuatan korupsi telah dikriminalisasi sejak tahun 1971 dalam undang-undang No 3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Lebih lanjut, kompetensi KPK dalam mengusut kasus BLBI identik dengan “precedent” KUHAP rules (tentang pemberlakuan Undang-undang N0 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) yang diberlakukan secara surut, hal ini dapat dilihat dalam pasal 284 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan undang-undang ini .

Atas dasar tersebut, KPK kiranya tidak perlu ragu dalam mengambil alih kasus BLBI dari Kejaksaan Agung. Terlebih, secara normatif hal ini merupakan kewajiban sekaligus hak KPK yang “halal” menurut undang-undang.

Maka sesuai perintah undang-undang, setelah Urip, KPK usut BLBI!


Wednesday, May 7, 2008

Kaidah Dasar Etika/Bioetika (Kedokteran Barat)

Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya secara skematis dalam gambar berikut : [1] [2] [3]

Oval: Prima Facie ‘ilat yang sesuaibeneficence

Autonomy

Non maleficence

Justice

Gambar. empat kaidah dasar etika dalam praktik kedokteran, dengan prima facie sebagai judge; penentu kaidah dasar mana yang dipilih ketika berada dalam konteks tertentu (‘ilat) yang relevan.

a. Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan.

· Pandangan Kant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni : kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia.

· Pandangan J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi.

· Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk bermartabat).

· Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi.

· Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan, lindungi informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien; bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting.

· Erat terkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk untuk kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak yang dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects), letting die.

b. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.

Tindakan berbuat baik (beneficence)

  • General beneficence :
    • melindungi & mempertahankan hak yang lain
    • mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
    • menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,
  • Specific beneficence :
    • menolong orang cacat,
    • menyelamatkan orang dari bahaya.

· Mengutamakan kepentingan pasien

· Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain

· Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)

· Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).

c. Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.

· Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti :

· Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien

· Minimalisasi akibat buruk

· Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :

- Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting

- Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut

- Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif

- Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal).

· Norma tunggal, isinya larangan.

d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.

· Treat similar cases in a similar way = justice within morality.

· Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni :

a. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya)

b. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).

  • Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), khususnya : yang-hak dan yang-baik

· Jenis keadilan :

a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)

b. Distributif (membagi sumber) : kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material kepada :

· Setiap orang andil yang sama

· Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya

· Setiap orang sesuai upayanya.

· Setiap orang sesuai kontribusinya

· Setiap orang sesuai jasanya

· Setiap orang sesuai bursa pasar bebas

c. Sosial : kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama :

· Utilitarian : memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.

· Libertarian : menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil).

· Komunitarian : mementingkan tradisi komunitas tertentu

· Egalitarian : kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).

d. Hukum (umum) :

· Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang berhak.

· pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai kesejahteraan umum.

Prima Facie : dalam kondisi atau konteks tertentu, seorang dokter harus melakukan pemilihan 1 kaidah dasar etik ter-”absah” sesuai konteksnya berdasarkan data atau situasi konkrit terabsah (dalam bahasa fiqh ’ilat yang sesuai). Inilah yang disebut pemilihan berdasarkan asas prima facie.[4]

Norma dalam etika kedokteran (EK) :

· Merupakan norma moral yang hirarkinya lebih tinggi dari norma hukum dan norma sopan santun (pergaulan)

· Fakta fundamental hidup bersusila :

Etika mewajibkan dokter secara mutlak, namun sekaligus tidak memaksa. Jadi dokter tetap bebas,. Bisa menaati atau masa bodoh. Bila melanggar : insan kamil (kesadaran moral = suara hati)nya akan menegur sehingga timbul rasa bersalah, menyesal, tidak tenang.

Sifat Etika Kedokteran :

  1. Etika khusus (tidak sepenuhnya sama dengan etika umum)
  2. Etika sosial (kewajiban terhadap manusia lain / pasien).
  3. Etika individual (kewajiban terhadap diri sendiri = selfimposed, zelfoplegging)
  4. Etika normatif (mengacu ke deontologis, kewajiban ke arah norma-norma yang seringkali mendasar dan mengandung 4 sisi kewajiban = gesinnung yakni diri sendiri, umum, teman sejawat dan pasien/klien & masyarakat khusus lainnya)
  5. Etika profesi (biasa):

· bagian etika sosial tentang kewajiban & tanggungjawab profesi

· bagian etika khusus yang mempertanyakan nilai-nilai, norma-norma/kewajiban-kewajiban dan keutamaan-keutamaan moral

· Sebagian isinya dilindungi hukum, misal hak kebebasan untuk menyimpan rahasia pasien/rahasia jabatan (verschoningsrecht)

· Hanya bisa dirumuskan berdasarkan pengetahuan & pengalaman profesi kedokteran.

· Untuk menjawab masalah yang dihadapi (bukan etika apriori); karena telah berabad-abad, yang-baik & yang-buruk tadi dituangkan dalam kode etik (sebagai kumpulan norma atau moralitas profesi)

· Isi : 2 norma pokok :

· sikap bertanggungjawab atas hasil pekerjaan dan dampak praktek profesi bagi orang lain;

· bersikap adil dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

  1. Etika profesi luhur/mulia :

Isi : 2 norma etika profesi biasa ditambah dengan :

· Bebas pamrih (kepentingan pribadi dokter < style="">

· Ada idealisme : tekad untuk mempertahankan cita-cita luhur/etos profesi = l’esprit de corpse pour officium nobile

7. Ruang lingkup kesadaran etis : prihatin terhadap krisis moral akibat pengaruh teknologisasi dan komersialisasi dunia kedokteran.



[1] KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN YANG BAIK DI INDONESIA 2006

[2] Agus Purwadianto, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik, dalam bahan bacaan Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007

[3] Professor Omar Hasan Kasule; September 2007; Filosofi Dalam Etika Kedokteran : Studi Banding Antara Sudut Pandang Islam dan Barat (Eropa); Seminar dan Lokakarya Implementasi Nilai-nilai Islam di dalam Pendidikan Kedokteran di Indonesia 8 – 9 September 2007

[4] Agus Purwadianto, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik, dalam bahan bacaan Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007


Sumber : http://yusufalamromadhon.blogspot.com

Monday, March 17, 2008

Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Menurut Doktrin Kekhususan Yang Sistematis

Pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai berbagai kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali. Sementara itu, dalam pembangunan tersebut terdapat kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam pengelolaan suatu bank.[1] Hal tersebut semakin diperparah dengan kurang memadainya perangkat hukum, lemahnya penegakan hukum sehingga mengakibatkan banyaknya distorsi, pada akhirnya terjadi penyimpangan dari praktik ekonomi pasar yang mengakibatkan semakin lemahnya fondasi perekonomian nasional[2].

Salah satu bentuk penyimpangan dalam praktik perbankan[3] yang cukup fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Bank Global Tbk. Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif[4].

Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Di antaranya tindak pidana perbankan, tindak pidana di bidang perbankan, kejahatan di bidang perbankan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini belum ada satu Undang-Undang pun yang merumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang perbankan.

Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran Undang-Undang Perbankan dapat dijerat dengan ketentuan UU Perbankan? Kemudian , dalam hal-hal apa tindak pidana dibidang perbankan dapat dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi?

Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui abash sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut[1].

Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.

Berdasarkan uraian diatas, dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, yang membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi. Penulis berkesimpulan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische.

Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Meminjam istilah Andi Hamzah, dengan demikian undang-undang korupsi bisa mengonsumir, mendesak dan menghabiskan ketentuan undang-undang perbankan (lex consumens derogat legi consumtae).

Disinilah hal yang menjadi keberatan penulis terhadap putusan Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung telah menghilangkan ketentuan hukum perbankan secara semena-mena, tanpa mempertimbangkan dampak ketidak pastian hukum yang ditimbulkan dalam putusan tersebut[2].

Padahal, apabila kita merujuk sejarah lahirnya undang-undang perbankan[3], jelas terlihat bahwa lahirnya Undang-undang Perbankan ditujukan untuk menggantikan Penuntutan Kejahatan Perbankan dengan sarana hukum tindak pidana korupsi.[4]

Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa lahirnya undang-undang perbankan ditujukan agar kedepan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi dapat dijerat dengan undang-undang perbankan. Hal ini dikarenakan adannya “kesadaran bersama” bahwa susbtansi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun 1971, lebih merupakan kehendak politik (political will) pemerintah untuk memberantas korupsi dari pada hasil kerja suatu perundang-undangan. Terlebih, dalam perdebatan-perdebatan mengenai rancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Konsekwensi yuridis selalu dilupakan.[5]

Tetapi seperti dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes,

The paradigm now constituted a problem rather than a solution : not waiving but drowning. The public prosecutorial ‘executive’ had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere[6].

Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut.

Dari perkara ini, kejanggalan yang terlihat adalah hakim dalam memutus perkara lebih menitik beratkan pertimbangan unsur merugikan keuangan negara ketimbang pelanggaran pasal 49 ayat 2 undang-undang perbankan. Padahal unsur kerugian keuangan negara yang dimaksud juga masih bisa diperdebatkan[7].

Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penulis ingin mengatakan bahwa penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi.

Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .

Padahal, menurut Lili Rasjidi, mengutip pendapat Roscoe Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 katagori pokok : Public Interest (kepentingan umum), social interst (kepentingan masyarakat), private interst (kepentingan pribadi)[8].

Dari hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, penulis ingin membuktikan beberapa hal, yaitu :

Pertama ; penerapan dan penegakan hukum tindak pidana perbankan dalam kasus Neloe bersifat sangat luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena disamping perbuatan yang dilakukan tersangka secara normatif tidak berkualifikasi tindak pidana korupsi, jika ditinjau dari pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga hal yang seharusnya dipertanggungjawab kan kepada pelaku tidak dibuktikan di persidangan. (pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan).

Kedua, pertimbangan-pertimbanagn hukum putusan pengadilan sama sekali mengabaikan asas-asas hukum pidana, sehingga terkesan hakim bebas menerapkan semua ketentuan perundang-undangan selama hal tersebut didalilkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum.

Ketiga, menimbulkan persepsi bahwa undang-undang perbankan bisa serta merta dikesampingkan oleh undang-undang korupsi, dengan kata lain undang-undang ini tidak berkaitan satu sama lain dalam satu sistem hukum.

Keempat, menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.



[1] Chairul Huda, Op., cit

[2] Dalam putusan baik di Pengdilan Negeri Jakarta Selatan Mupun di MA, pada akhirnya Mahkamah Agung telah membuat suatu ukuran penerapan hukum pertanggungjawaban pidana, yang tidak berdasarkan suatu ketentuan sytimathice specialite. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum pengadilan Negeri dan MA (seperti disebutkan diatas) yang sama sekali tidak memperhatikan ketentuan udang-undang perbankan, khususnya pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang secara khusus mengatur delik yang dilakukan oleh Neloe

[3] UU No 7 Tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No 10 Tahun 1998

[4] Lahirnya Undang-undang Perbankan salah satunya disebapkan karena adanya putusan Mahkamah Agung Terhadap Kasus Bank Duta. Kasus yang menyita perhatian masyarakat tersebut menjadi ”kontroversi” karena Mahkamah Agung dianggap telah melakukan analogi dalam hal pengertian merugikan keuangan negara. Dimana MA berpendapat sebagai berikut :

”telah terbukti walaupun Bank Duta adalah Bank Swasta, tetapi karena telah menerima/menggunakan dana-dana yang bersal dari masyarakat yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan, maka undang-undang korupsi dapat diterapkan dalam perkara ini”.

Sehingga muncul pendapat dan desakan agar dilahirkan suatu Undang-undang Perbankan, dan pada tahun 1992 lahirlah undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Komariah Emong, Op., Cit. Hal. 208 dan 209

[5] Ibid. hal 208

[6] Davit Downes, dalam Komariah Emong. Ibid.

[7] menurut saksi Nanik Purwati saksi ahli dari BI menerangkan walaupun modal yang dimiliki si pemohon jauh dibawah nilai kredit yang diajukan akan tetapi setelah melakukan analisa terhadap permohonan tersebut, bank .memperoleh keyakinan bahwa kredit tersebut dapat dilunasi, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perkreditan yang berlaku. Lebih lanjut menurut keterangan ahli dari BPKP yakni Muhammad Yusuf dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam rapat umum pemegang saham ternyata tidak ada kerugian yang dialami Bank Mandiri maka berarti juga tidak kerugian yang dialami oleh Negara.

[8] Lili Rasjidi dalam Komarian Emong. Op. Cit. Hal 210.




[1] Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak

[2] Lihat penjelasan umum Undang-undang No 23 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia

[3] Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya

[4] Zulkarnain Sitompul. Problematika Perbankan, BooksTerrance&Library. Bandung. 2005. Hal 244