Pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supanji yang berjanji akan membuka kembali penyelidikan kasus BLBI II, jika menemukan indikasi suap yang diterima Urip berkitan dengan penghentian penyelidikan menunjukkan bahwa pihak Kejaksaan Agung masih “ngotot” kasus BLBI bukanlah suatu kejahatan menurut hokum pidana korupsi.
Pernyataan ini patut disesalkan, bukan hanya karena janji ini konsisten dengan logika yang ingin dibangun oleh Kejaksaan bahwa dihentikannya kasus BLBI dikarenakan tidak ditemukannya unsur melawan hokum, tetapi juga bertendensi menolak keinginan masyarakat agar KPK mengambil alih kasus ini.
Gagal Sejak Awal?
Korupsi dana BLBI dinilai sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula. Terbukti, Kejaksaan yang selama ini diharapkan dapat menangani BLBI, dibuat tidak berdaya dalam proses penangannya.
Ketidakberdayaan ini boleh jadi disebapkan oleh banyak factor, antara lain mengendurnya kehalian, rasa tanggungjawab dan kerjasama terpadu diantara jaksa-jaksa yang tergabung dalam team BLBI. Lebih lanjut, patut diduga hal ini bisa terjadi karena sejak awalnya pimpinan team BLBI telah diboncengi kepentingan korupsi itu sendiri. Apapun kilahnya, tertangkapnya urip memperkuat dugaan bahwa kasus ini tidak dilanjutkan karena adanya deal 6 milyar.
Kewenangan KPK
Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, adalah fakta. oleh sebab itu dilahirkanlah KPK melalui UU No 30 Tahun 2002. Pertanyaannya sekarang, bisakah KPK mengusut kasus korupsi BLBI? Pertanyaan ini penting dimunculkan, mengingat dengan kelambanan yang ditunjukkan oleh Kejaksaan dalam mengusut korupsi BLBI menimbulkan kekhawatiran kasus ini akan gugur secara hokum karna terlampauinya daluarsa penuntutan.
Tertangkapnya Jaksa Urip oleh KPK sesungguhnya merupakan blessing in disguise dalam konteks menuntaskan kasus hokum BLBI secara menyeluruh. Dengan tertangkapnya Urip, telah secara otomatis mendelegasikan kewenangan penyelidikan, penyelidikan dan penuntutan dari Kejaksaan Agung kepada KPK.
Berdasarkan dakwaan Jaksa KPK terhadap Artalyta Suryani, terungkap penyerahan uang AS$660 ribu kepada Urip erat kaitannya dengan kasus penyimpangan dana BLBI yang melibatkan taipan Sjamsul Nursalim, eks pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) -bank penerima BLBI senilai Rp28,4 triliun yang kini sudah dilikuidasi (hukumonline/ 22/5/08).
Apabila dakwaan ini terbukti nantinya, maka secara legalitas KPK berwenang mengusut kasus BLBI. Hal ini didasarkan atas mandat pasal 9 huruf c dan Pasal 68 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK , yang berbunyi :
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
Selanjutnya , Pasal 68 menyatakan : Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Terhadap pasal 68 tersebut, harus ditegaskan kasus BLBI belum usai, adanya penghentian penyelidikan oleh Kejaksaan Agung terhadap kasus Sjamsul Nursalim bukanlah dalam artian kasus ini telah tuntas diproses secara hokum oleh Kejaksaan Agung, tetapi lebih karena adanya ketidakmampuan Kejaksaan Agung menuntaskan kasus ini secara professional. Dengan kata lain, sehinga proses hukumnya masih tetap berjalan.
Pelanggaran Asas Non Retroaktif ?
Sejauh dapat di cermati, keragu-raguan KPK dalam mengambil alih kasus BLBI didasarkan atas ketakutan KPK dituduh melanggar asas non retroaktif yang berlaku dalam hokum pidana. Untuk menepis keraguan tersebut, kiranya perlu dijelaskan substansi dan sejarah lahirnya ketentuan non retroaktif yang diakui secara universal dalam hokum pidana, sehingga dapat secara jelas diketahi substansi dan peruntukan asas tersebut.
Secara normatif, substansi asas non retroaktif sebagai yang terkandung pasal 1 ayat 1 KUHP yang menyatakan suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut, apabila kita melihat aturan main asas ini, dapat ditemukan dalam Pasal 12 Piagam HAM (UDHR) PBB, yang membatasi bahwa pemberlakuan surut suatu perundang-undangan (ex post facto law) tidak diperkenankan apabila hal tersebut : Pertama, menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; Kedua, menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan
Dari persfektif sejarah, lahirnya asas non retroaktif ini dilatar belakangi oleh kesewenang-wenangan Raja-Raja pada masa Romawi dalam mempergunakan istrumen yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Di antara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Atas kondisi ini, kemudian dimunculkanlah asas legalitas, dimana salah satu elemennya non retroaktif tersebut. Dengan dilahirkannya asas ini, maka timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana, terhadap penggunaan hokum pidana, yang kelak memberikan sanksi kepada seseorang
Dari titik ini, secara tegas dan jelas dapat dikatakan, bahwa pemberlakuan surut suatu ketentuan perundang-undangan tidak diperbolehkan hanya dalam ranah hokum pidana materil, bukan dalam hokum pidana formil. Hal ini dapat dibuktikan dari rumusan frasa ; suatu perbuatan, perbuatan yang dapat dipidana, pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan sebagai bagian inti dari ketentuan pasal 12 Piagam HAM (UDHR) PBB, yang pada hakekatnya menunjuk suatu perbuatan yang diancam pidana.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk menggugat kewenangan KPK mengusut kasus BLBI, apalagi jika gugatan tersebut didasarkan kepada asas non retroaktif yang berlaku dalam hokum pidana. Karena secara factual, perbuatan korupsi telah dikriminalisasi sejak tahun 1971 dalam undang-undang No 3 tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Lebih lanjut, kompetensi KPK dalam mengusut kasus BLBI identik dengan “precedent” KUHAP rules (tentang pemberlakuan Undang-undang N0 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) yang diberlakukan secara surut, hal ini dapat dilihat dalam pasal 284 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan ketentuan undang-undang ini .
Atas dasar tersebut, KPK kiranya tidak perlu ragu dalam mengambil alih kasus BLBI dari Kejaksaan Agung. Terlebih, secara normatif hal ini merupakan kewajiban sekaligus hak KPK yang “halal” menurut undang-undang.
Maka sesuai perintah undang-undang, setelah Urip, KPK usut BLBI!